Thursday, May 23, 2013

PANUTAN SALAFI DALAM BERAGAMA.....

Kalangan salafi berpegang teguh (berlandaskan) kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman shalafush shalih. Shalafush shalih adalah para sahabat, para tabiin dan para tabiut tabiin serta yang mengikuti mereka dengan baik serta para imam kaum muslimin seperti Imam Sufyan Ats-Tsauri, Imam Al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah, dan yang lainnya. Mereka merupakan generasi terbaik yang menjadi panutan kalangan salafi sepanjang masa, baik dari segi pemahaman dan pengalaman agama karena mereka telah mengambil Sunnah Nabi secara sempurna, telah berlomba-lomba untuk mendapatkan kesempurnaan dalam melaksanakan syariat Islam sepanjang usia mereka. 
Allah Ta’ala berfirman :
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Mujahirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha terhadap Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan besar.” (QS. At-Taubah: 100).
Ayat tersebut sebagai hujjah bahwa manhaj (jalan) para sahabat adalah benar. Orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan keridaan Allah Ta’ala dan disediakan bagi mereka surga. Mengikuti manhaj mereka adalah wajib atas setiap mukmin. Kalau mereka tidak mau mengikuti maka mereka akan mendapatkan hukuman dan tidak mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala. [1]
Allah Ta’ala berfirman :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah ...” (QS. Ali Imran: 110).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian umat-umat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqomahan para sahabat dalam setiap keadaan karena mereka tidak menyimpang dari syari’at yang terang benderang, sehingga Allah Ta’ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap kema’rufan (kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran. Hal tersebut menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka (sahabat) adalah hujjah atas orang-orang setelah mereka sampai Allah Ta’ala mewariskan bumi dan seisinya. [2]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi rekomendasi abadi terhadap mereka dalam sabdanya :
“Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para sahabat), kemudian orang-orang sesudahnya (tabiin) dan orang-orang sesudahnya lagi (tabiut tabiin). Lalu akan datang orang-orang yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.” (Hadits shahih. HR. Imam Bukhari dalam Shahihnya (2652) dan Imam Muslim dalam Shahihnya (2533), dari Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) radhiyallahu ‘anh).
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan tentang kebaikan dan keutamaan mereka yang merupakan sebaik-baik manusia. Sedangkan perkataan ‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang aqidahnya, manhajnya, akhlaknya, dakwahnya dan lain-lainnya.
Dalam hadits lainpun disebutkan tentang kewajiban kita mengikuti manhaj para sahabat, yaitu hadits yang terkenal dengan hadits Irbadh bin Sariyah, hadits ini terdapat pula dalam al-Arba’in an-Nawawiyyah (no. 28) :
Berkata al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anh, “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh orang yang masih hidup di antara kalian setelahku akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah sesat.’” (HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676). Hadits shahih).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan dan perselisihan pada umatnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar untuk selamat dunia dan akhirat, yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan Sunnah para sahabatnya. Sungguh mereka (para sahabat) telah mengambil kebenaran dari sumber yang jernih lagi murni, kemudian mereka tetapkan sebagai kaidah-kaidah Islam seluruhnya sehingga tidak memberi kesempatan bagi yang lain untuk membuat konsep dan pemikiran. Kemudian mereka sampaikan warisan yang mereka dapatkan dari cahaya kenabian secara suci lagi murni kepada para tabiin yang mengikuti mereka dengan baik. Sanad periwayatan mereka adalah dari Nabi dari Jibril dan dari Rabul Izzah, sanad yang tertinggi. Mereka sangat mengagunggkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jiwa mereka sangat takut mengedepankan hawa nafsu atau mengotori Sunnah dengan berbagai pemikiran sesat. Jika Rasulullah memanggil mereka untuk melaksanakan satu perkara, maka mereka dengan cepat menunaikan tanpa bertanya atau komentar.
Ketika Hasan bin Ali berada dalam suatu majelis yang sedang memperbincangkan para sahabat, beliau berkata, “Sesungguhnya, mereka adalah umat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit penyimpangannya. Mereka merupakan kaum yang dipilih Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya, maka berusahalah untuk menyerupai akhlak dan pemahaman mereka. Demi Tuhan Ka’bah, sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang benar dan lurus.” [3]
Maka manusia paling berbahagia adalah yang mengikuti tata cara mereka dalam beragama secara bersambung seperti yang dikatakan Ibrahim bin Muhammad As-Syafi’i, “Saya tidak pernah melihat orang yang shalatnya lebih bagus ketimbang As-Syafi’i, karena ia mengambil (tata cara shalat) dari Muslim bin Khalid, sementara Muslim mengambil dari Ibnu Juraji, sedang Ibnu Juraji mengambil dari Atha’, sedang Atha’ mengambil dari Ibnu Zubair dan Ibnu Zubair mengambil dari Abu Bakar dan Abu Bakar mengambil dari Nabi.” [4]
Imam Ahmad pernah berkata dalam khutbahnya, “Prinsip-prinsip As-Sunnah dalam keyakinan kami adalah berpegang teguh terhadap apa yang (disepakati) para sahabat Rasulullah.” [5]
Mereka generasi pertama umat ini yang benar-benar menjadikkan sunnah Nabinya sebagai pijakan. Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa perintah ataupun larangan begitu mereka taati. Bahkan apa yang dilakukan dan di jalani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa dijadikan teladan. Beliau benar-benar dijadikan panutan. Mereka begitu cinta dan taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang disabdakan beliau senantiasa dikedepankan, tanpa didahului oleh perkataan siapapun selain beliau, walau setinggi apapun kedudukan orang itu.
Dan mereka adalah orang-orang yang senantiasa berlapang dada menerima nasihat, teguh dalam melaksanakan kewajiban agama, dan ikhlas meninggalkan segala larangan yang ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian setelah generasi sahabat, lahirlah para tabiin yang meniti jalan mereka dan mengikuti jejak mereka, lalu diikuti pula para tabiut tabiin yang tidak kalah gigi dalam memperjuangkan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam guna menjaga kemurnian ajaran islam yang mulia.
----------
“Ya Allah. Semoga Engkau berkenan mengumpulkan kami bersama orang-orang terkasih di surgaMu dan memperkenankan kami memandang kemuliaan wajahMu. Amin.”

Sumber :
- Buku Putih Dakwah Salafiyah, karya Zaenal Abidin bin Syamsudin.
- Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

Semoga bermanfaat...
Fotenote:
[1] Bashaa-ir Dzawii Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis Salaf (hal. 43).
[2] Lihat Limaadza Ikhtartul Manhajas Salafi (hal. 86), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
[3] Jami’ Bayanil Ilmi Wafadluhi, karya Ibnu Abdil Bar, juz 2/195.
[4] Lihat Siyar A’lamin nubala’ Adz-Dzahabi, 8/418.
[5] Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyyah, 6/357.

No comments:

Post a Comment