Tuesday, June 25, 2013

Wasiat salafush shålih untuk meninggalkan debat kusir

1. Nabi Muhammad shållallåhu ‘alayhi wa sallam

“Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.”(HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167. Dihasankan oleh al-Albani dalam as-Shahihah [273] as-Syamilah)

2. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya:“Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.”[Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]

3. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa

“Cukuplah engkau sebagai orang zhalim bila engkau selalu mendebat. Dan cukuplah dosamu jika kamu selalu menentang, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu berbicara dengan selain dzikir kepada Allah.”[al-Fakihi dalam Akhbar Makkah]

4. Abud Darda radhiyallahu ‘anhu

“Engkau tidak menjadi alim sehingga engkau belajar, dan engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai engkau mengamalkannya. Cukuplah dosamu bila kamu selalu mendebat, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu menentang. Cukuplah dustamu bila kamu selalu berbicara bukan dalam dzikir tentang Allah.”[Darimi: 299]

5. Muslim Ibn Yasar rahimahullah

“Jauhilah perdebatan, karena ia adalah saat bodohnya seorang alim, di dalamnya setan menginginkan ketergelincirannya.”[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra; Darimi: 404]

6. Hasan Bashri rahimahullah

Ada orang datang kepada Hasan Bashri rahimahullah lalu berkata,“Wahai Abu Sa’id kemarilah, agar aku bisa mendebatmu dalam agama!”

Maka Hasan Bashri rahimahullah berkata: “Adapun aku maka aku telah memahami agamaku, jika engkau telah menyesatkan (menyia-nyiakan) agamamu maka carilah.”[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 588]

7. Umar ibn Abdul Aziz rahimahullah

“Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka ia akan banyak berpindah-pindah (agama).”[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 565]

8. Abdul Karim al-Jazari rahimahulah

“Seorang yang wira’i1 tidak akan pernah mendebat sama sekali.” [Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 636; Baihaqi dalam Syu’ab: 8249]

9. Ja’far ibn Muhammad rahimahullah

“Jauhilah oleh kalian pertengkaran dalam agama, karena ia menyibukkan (mengacaukan) hati dan mewariskan kemunafikan.”[Baihaqi dalam Syu’ab: 8249]

10. Mu’awwiyah ibn Qurrah rahimahullah

“Dulu dikatakan: pertikaian dalam agama itu melebur amal.”[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 562]

11. al Auza’i rahimahullah

“Jika Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum maka Allah menetapkan jidal pada diri mereka dan menghalangi mereka dari amal.”[Siyar al-A’lam 16/104; Tadzkiratul Huffazh: 3/924; Tarikh Dimsyq: 35/202]

12. Imran al-Qashir rahimahullah

“Jauhi oleh kalian perdebatan dan permusuhan, jauhi oleh kalian orang-orang yang mengatakan: Bagaimana menurutmu, bagaimana pendapatmu.”[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 639]

13. Muhammad ibn Ali ibn Husain rahimahullah

“Pertikaian itu menghapuskan agama dan menumbuhkan permusuhan di hati orang-orang.”[al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23]

14. Abdullah ibn Hasan ibn Husain rahimahullah

Dikatakan kepada Abdullah ibn al Hasan ibn al Husain rahimahullah,“Apa pendapatmu tentang perdebatan (mira’)?”

Dia menjawab: “Merusak persahabatan yang lama dan mengurai ikatan yang kuat. Minimal ia akan menjadi sarana untuk menang-menangan itu adalah sebab pemutus talit silaturrahim yang paling kuat.”[Tarikh Dimasyq: 27-380]

15. Bilal ibn Sa’d rahimahullah (kedudukannya di Syam sama dengan Hasan Bashri di Bashrah)

“Jika kamu melihat seseorang terus-terusan menentang dan mendebat maka sempurnalah kerugiannya.”[al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23]

16. Wahab ibnu Munabbih rahimahullah

“Tinggalkanlah jidal dari perkaramu, karena ia tidak akan dapat mengalahkan salah satu dari dua orang: seseorang yang lebih alim darimu, bagaimana engkau memusuhi dan mendebat orang yang lebih alim darimu? Dan seseorang yang engkau lebih alim daripadanya, bagaimana engkau memusuhi orang yang engkau lebih alim daripadanya dan ia tidak mentaatimu? Maka tinggalkanlah itu.”[Tahdzibul Kamal: 31/148; Siyarul A’lam: 4/549; Tarikh Dimasyq: 63/388]

17. Malik ibnu Anas rahimahullah

Ma’n rahimahullah berkata: “Pada suatu hari Imam Malik ibn Anas berangkat ke masjid sambil berpegangan pada tangan saya, lalu beliau dikejar oleh seseorang yang dipanggil dengan Abu al-Juwairah yang dituduh memiliki Aqidah Murji’ah.”

Dia berkata:‘Wahai Abu Abdillah dengarkanlah dariku sesuatu yang ingin saya kabarkan kepada anda, saya ingin mendebat anda dan memberi tahu anda tentang pendapatku.’

Imam Malik berkata, ‘Hati-hati, jangan sampai aku bersaksi atasmu.’

Dia berkata, ‘Demi Allah, saya tidak menginginkan kecuali kebenaran. Dengarlah, jika memang benar maka ucapkan.’

Imam Malik bertanya,‘Jika engkau mengalahkan aku?’

Dia menjawab,‘Maka ikutlah aku!’

Imam Malik bertanya lagi,‘Kalau aku mengalahkanmu?’

Dia menjawab,‘Aku mengikutimu?’

Imam Malik bertanya,‘Jika datang orang ketiga lalu kita ajak bicara dan kita dikalahkannya?’

Dia berkata,‘Ya kita ikuti dia.’

Imam Malik rahimahullah berkata:“Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah”.”

Imam Malik rahimahullah berkata:”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”

Imam Malik rahimahullah berkata:“Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”

Imam Malik rahimahullah berkata:“Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”

Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.”(Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)

18. Muhammad ibn Idris as-Syafi’I rahimahullah

“Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.”[Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]

19. Ahmad bin Hambal rahimahullah

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang,“Saya ada di sebuah majelis lalu disebutlah didalamnya sunnah yang tidak diketahui kecuali oleh saya, apakah saya mengatakan?”

Dia menjawab:“Beritakanlah sunnah itu, dan janganlah mendebat karenanya!”

Orang itu mengulangi pertanyaannya, maka Imam Ahmad rahimahullah berkata:“Aku tidak melihatmu kecuali seorang yang mendebat.”[al-Adab as-Syar’iyyah: 1/358, dalam bab menyebar sunnah dengan ucapan dan perbuatan tanpa perdebatan dan kekerasan; al-Bashirah fid-Da’wah Ilallah: 57]

20. Shafwan ibn Muhammad al-Mazini rahimahullah

Saat Shafwan rahimahullah melihat para pemuda berdebat di Masjid Jami’ maka ia mengibaskan tangannya sambil berkata: “Kalian adalah jarab2, kalian adalah jarab.” [Ibnu Battah: 597]

Dahulu dikatakan: “Janganlah engkau mendebat orang yang santun dan orang yang bodoh; orang yang santun mengalahkanmu, sedang orang yang bodoh menyakitimu.” [Al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23]“

Ya Allah jauhkanlah kami dari jidal, dan anugerahkan pada kami istiqomah. Janganlah Engkau simpangkan hati kami setelah engkau memberi hidayah pada kami.”

Aamiin.

Sumber: alqiyamah

Wasiat asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Ali al-Yamani al-Wushobi al-Abdali

Wahai Penuntut ilmu, jika kamu membuka pintu debat bersama temanmu maka sungguh kamu telah membuka pintu penyakit fitnah buat dirimu. Apabila seseorang penuntut ilmu tidak menjauhkan diri darinya tentu akan mendapatkan marabahaya.

Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda :

ما ضل قوم بعد هدى كا نوا عليه إلاأوتواالجدال : ثم قرأ : ماضربوه لك إلاجد لا بل هم قوم خصمون – رواه الترمذي عن أبي أمامة الباهلي –ِ

Artinya : “Tidaklah sesat suatu kaum setelah mereka mendapatkan petunjuk kecuali Allah berikan kepada mereka ilmu debat. Kemudian beliau membaca : mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.”(HR Tirmidzi dari Abu Umamah al Bahily)

Saya masih teringat seorang teman ketika awal belajar di Madinah, mungkin kurang lebih dua puluh empat atau dua puluh lima tahun yang silam, dia terkenal banyak berdebat. Terkadang dia mulai berdebat dari setelah Isya’ sampai akhir malam. Ternyata pada akhirnya dia mendapatkan kegagalan, tidak menjaga waktu, tidak beristighfar, bertasbih, bertahlil, bangun malam, dan tidak melaksanakan bimbingan Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam.

Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bukanlah pendebat. Tatkala Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam pergi kerumah Fatimah dan Ali ketika beliau ingin membangunkan keduanya untuk sholat malam, beliau mengetuk pintu dan berkata : ”Tidaklah kalian bangun untuk melaksanakan sholat?”‘Ali mengatakan :”Sesungguhnya jiwa kami di Tangan Allah, Dia membangunkan sesuai kehendak-Nya.” Beliau Sholallahu Alaihi Wa Sallam balik sambil memukul pahanya dan berkata :

وَكَانَ الإنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلا

” Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak mendebat/membantah.”(QS Al Kahfi :54 )

Rasulullah tidak mendebat Ali dan beliau menganggap bahwa apa yang dijawab Ali termasuk dari jidal (debat) dengan berdalilkan firman Allah :

وَكَانَ الإنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلا

” Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak mendebat/membantah.”(QS Al Kahfi :54 )

Wahai penuntut ilmu jauhilah dari perdebatan, karena hal yang demikian itu menyebabkan kemurkaan dan kebencian di dalam hati. Katakan kepada temanmu apa yang kamu ketahui, kalau temanmu mengatakan tidak, kembalikanlah permasalahannya kepada Syaikhmu, dan sekali lagi menjauhlah kamu dari perdebatan,

Rasulullah bersabda :

إذااختلفتم قي القران فقوموا – متفق عليه

“Apabila kalian berselisih di dalam Al Qur’an maka tinggalkan tempat tempat itu.”(Muttafaqun Alaihi)

Apabila terjadi disuatu majelis perdebatan, satu menyatakan demikian yang lain menyatakan demikian, maka dengarkan sabda Rasulullah diatas dan janganlah kalian duduk ditempat itu dan jangan mencoba untuk membuka perdebatan. Berhati-hatilah kamu dari debat dan peliharalah waktumu, insya Allah kamu akan saling mencintai dan saling menyayangi.

[Disalin oleh Abu Aufa dari buku عشرون النصيحة الطالب العلم و الد ا عي إلى الله yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul ” 20 Mutiara Indah bagi penuntut Ilmu dan Da’i Ilallah“]

Maksud perkataan ‘ulama diatas

Syaikhul Islam berkata, “Jadi,yang dimaksud larangan para salaf dalam berdebat adalah yang dilakukan oleh

- orang yang tidak memenuhi syarat untuk melakukan perdebatan (kurang ilmu dan lain-lain)

- atau perdebatan yang tidak mendatangkan kemaslahatan yang pasti;

- berdebat dengan orang yang tidak menginginkan kebenaran,

- serta berdebat untuk saling unjuk kebolehan dan saling mengalahkan yang berujung dengan ujub (bangga diri) dan kesombongan.

Beliau melanjutkan, “Jidal (adu hujjah) adalah masalah yang hukumnya belum pasti; dan untuk menentukan hukum tentang masalah ini, tergantung kepada kondisi yang ada. Sedangkan debat yang sesuai dengan syari’at, maka hukumnya terkadang wajib dan terkadang mustahab.

Kesimpulannya, debat itu terkadang terpuji dan terkadang tercela; terkadang membawa mafsadat (kerusakan) dan terkadang membawa mashlahat (kebaikan); terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang merupakan sesuatu yang bathil.”

Wallåhu ta’ala a’lamu bish shåwwab..

Catatan Kaki

1. Wira’i artinya orang yang sangat menjaga diri dari hal-hal yang syubhat dan membatasi diri dari yang mubah. 

2. Sejenis penyakit kulit 

via http://abuzuhriy.com/wasiat-salafush-shalih-untuk-meninggalkan-debat-kusir/

Monday, June 24, 2013

Wasiat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kepada umatnya tentang lisan

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
‎يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ
“Wahai sekalian manusia, rendahkanlah diri kalian karena kalian tidak menyeru kepada Dzat yang tuli dan juga bukan Dzat yang jauh. Dia selalu bersama kalian dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Maha suci nama-Nya dan Maha Tinggi kebesaran-Nya”.
(HR. Bukhori)
dari Abu Musa ia berkata;
Suatu saat kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah perjalanan, lalu kami melewati suatu lembah -ia kemudian menyebutkan kedahsyatannya- orang-orang pun bertakbir dan bertahlil (dengan suara keras), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
‎أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ
“Wahai sekalian manusia, pelankanlah suara kalian saat berdo’a dan bertakbir.”
Namun mereka tetap mengangkat suara mereka, Maka beliau pun bersabda:
‎أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidaklah berdo’a kepada Rabb yang tuli, tidak pula ghaib, sesungguhnya Dia bersama kalian.”
(HR. Ahmad (dan ini lafazhnya), Muslim, dll.)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيْهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَي بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ
Sesungguhnya orang yang shalat itu berbisik/bermunajat kepada Penguasanya, maka hendaklah dia memperhatikan dengan apa yang bisikkan/dimunajatkan kepada-Nya. Dan janganlah sebagian kamu mengeraskan (bacaan) al-Qur’ân atas yang lain.
[Dishahîhkan al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ no:1951; dinukilalmanhaj.or.id]
Al-Haafizh Ibn Katsir Råhimahullåh berkata,
“Oleh karena itu Alloh berfirman,
‎وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
“dengan tidak mengeraskan suara”,
demikianlah ketika berdzikir (hendaknya tidak mengeraskan suara-pen), dan dzikir bukanlah berupa sahutan dan suara yang keras”
(Tafsirul Qur’anil Azhim)
Syaikhul Islam berkata,
“Dari sini tidak boleh bagi seorang pun mengeraskan bacaan Al Qur’an-nya sehingga menyakiti saudaranya yang lain seperti menyakiti saudara-saudaranya yang sedang shalat.”
(Lihat Majmu’ Al Fatawa, 23/64; dinukil dari rumaysho)
Berkata Al-Baji:
“Karena hal itu dapat mengganggu dan menghalangi orang yang sedang serius melaksanakan shålat, mengganggu kesunyiannya (keheningannya); dan (menganggu) konsentrasi untuk memunajatkan al-Qur-aan kepada Råbbnya.
Jika mengeraskan bacaan al-Qur-aan tidak boleh, karena dapat menganggu orang yang sedang shålat, maka berbicara keras dengan omongan yang lain lebih terlarang”
Berkata Abdil Barr:
” Jika umat Islam dilarang mengganggu muslim lainnyta dengan perkataan/perbuatan yang baik (seperti) membaca al-qur’an. maka mengganggunya dengan hal lain hukumnya sangat haram”
[Sumber: "Dari Takbiratul Ihram Hingga Salam" (Terjemahan bahasa indonesia dari shifat shålat nabiy karya syaikh al-albaniy) Dalam BAB: "Wajib membaca saat siir" hlm. 233, Cet. 1]
Subhanallåh.. ALANGKAH INDAHNYA SYARI’AT ISLAM..
Lantas bagaimana dengan orang-orang yang mengganggu saudara semuslimnya dengan LISAN-LISAN yang BURUK, dengan PERBUATAN-PERBUATAN yang KEJI, MERUSAK KEHORMATAN saudaranya, bahkan sampai MENUMPAHKAN DARAH saudaranya? lantas bagaimana lagi jika orang tersebut dengan bangganya me-labeli dirinya “pejuang syari’at”.
Jika memang ia melabeli dirnya “pejuang syari’at”, maka laqob yang pantas baginya adalah “pejuang kebodohan”, pejuang yang SAMA SEKALI tidak mengenal syari’at dan SAMA SEKALI tidak mencerminkan syari’at Islam dalam dirinya Allåhul musta’aan..
Hendaknya kita benar-benar memperhatikan hal ini:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada seseorang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
’Wahai Rasulullah, si fulanah sering melaksanakan shalat di tengah malam dan berpuasa sunnah di siang hari. Dia juga berbuat baik dan bersedekah, tetapi lidahnya sering mengganggu tetangganya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
‎لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
“TIDAK ADA KEBAIKAN di dalam dirinya dan dia adalah penduduk neraka.”
Para sahabat lalu berkata,
“Terdapat wanita lain. Dia (hanya) melakukan shalat fardhu dan bersedekah dengan gandum, namun ia tidak mengganggu tetangganya.”
Beliau bersabda,
‎هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Dia adalah dari penduduk surga.”
[(Shahih) Lihat Ash Shahihah (190); dinukil dari: rumaysho]
Allåhu akbar.. alangkah meruginya wanita itu, betapa banyak ia mengumpulkan amalan-amalan yang shålih, TAPI kebaikan-kebaikan itu TIDAK DIANGGAP, akibat jeleknya ucapan/perbuatan-nya yang mengganggu tetangganya.
Dan alangkah bahagianya, wanita yang lain, yang dengan ‘hanya’ amalan-amalan wajib serta sedekah, ia dapat menjadi salah satu ahli sorga disebabkan amalannya dan begitu terjaganya ia dari ucapan-ucapan/perbuatan yang jelek.
Maka hendaknya orang-orang yang sekarang ini BERUSAHA berada diatas al-qur’an, as-sunnah yang shåhih sesuai pemahaman salafush shålih, benar-benar menjaga LISAN dan PERBUATANnya, sehingga ia tidak menyesal di hari akhir; disebabkan JELEKNYA/BURUKNYA/KEJINYA ucapan dan perbuatannya..
Semoga kita dapat menjadi seorang muslim yang senantiasa berjalan diatas al-qur’an, as-sunnah, menurut pemahaman salafush shalih; dalam aqidah, manhaj, AKHLAK serta MUAMALAH kita..
aamiin..
Ketahuilah orang yang tidak menjaga lisannya termasuk orang yang tidak tahu malu!
“Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Hendaklah kamu benar-benar malu kepada Allâh!”.
Kami mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, al-hamdulillah kami malu (kepada Allah)”.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى
“Bukan begitu (sebagaimana yang kamu sangka-pen). Tetapi (yang dimaksud) benar-benar malu kepada Allâh adalah engkau menjaga kepala dan isinya, menjaga perut dan apa yang berhubungan dengannya”
(sampai akhir hadits)
[HR. Tirmidzi, no. 2458; Ahmad, no. 3662; Syaikh al-Albâni rahimahullah menyatakan ‘Hasan lighairihi, dalam kitab Shahîhut Targhîb, 3/6, no. 2638; dinukil dari: almanhaj]
Tidakkah ia malu kepada Allah, Yang Maha Mendengar setiap ucapan yang keluar dari hambaNya?
Bukankah ia membaca firmanNya:
Allah Ta’ala berfirman,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir”
(QS. Qaaf: 18)
Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala,
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ . كِرَامًا كَاتِبِينَ . يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ
“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al Infithar: 10-12)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam menukil perkataan Ibnu ‘Abbas:
Malaikat tersebut mencatat setiap perkataan hamba, yang baik maupun yang buruk hingga mereka menulis perkataan; saya berkata, saya minum, saya pergi, saya datang, dan saya melihat.”
Ibnu Katsir juga berkata:
“Disebutkan bahwa Imam Ahmad mengeluh ketika sakit. Kemudian ia mendengar Thawus berkata, Malaikat mencatat segala sesuatu hingga suara keluhan. Imam Ahmad pun tidak pernah mengeluh lagi hingga meninggal dunia, semoga Allah merahmatinya.”
[Tafsir Ibnu Katsir 4/225]
Demi Allah, jika Imam Ahmad tidak mau mengeluh padahal rasa sakit mendorongnya untuk mengeluh, mengapa kita tidak menahan diri perkataan-perkataan yang tidak ada dorongan untuk mengucapkannya kecuali ingin bercanda, melucu atau “hanya sekedar iseng” (tanpa ada maksud yang JELAS dalam perkataan tersebut)?!!
Dinukil dari sebagian ulama:
“Jikalau seandainya kalian yang membelikan kertas untuk malaikat yang mencatat amalan, sesungguhnya kalian akan memilih lebih banyak diam dari pada banyak bicara.”
Ingatlah bahwa Dia berfirman:
وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.
(Hud: 123)
Allah berfirman:
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
(Al-Mujaadilah: 6)
Maka dari itu dalam penjagaan lisan ini, Rasulullah menghubungkannya dengan iman kepada Allah dan hari akhir (sebagaimana akan disebutkan dalam hadits berikut).
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda.
‎مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam”.
[Diriwayatkan dalam Shahîhain, al-Bukhaari (no. 6475) dan Muslim (no. 47); dinukil dari almanhaj.or.id]
Imam an Nawawiy juga berkata:
Hadits yang disepakati keshahîhannya ini merupakan nash yang jelas. Hendaklah seseorang tidak berbicara kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak maslahatnya. Jika ia ragu-ragu tentang timbulnya maslahatnya, maka hendaklah ia tidak berbicara.
Imam asy-Syafi’i berkata:
“Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum berbicara hendaklah ia berfiikir; jika jelas nampak maslahatnya, maka ia berbicara; dan jika ragu-ragu, maka tidak berbicara sampai jelas maslahatnya”
[Al-Adzkâr, Imam an-Nawawi. Tahqîq dan Takhrîj: Syaikh Salim al-Hilâliy; dinukil dari almanhaj]
Imam an-Nawawi rahimahullah juga berkata:
“Ketahuilah, seharusnya setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang JELAS MASLAHAT padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama maslahatnya, maka menurut Sunnah adalah MENAHAN DIRI darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram, atau makruh. Kebiasaan ini, bahkan banyak dilakukan. Sedangkan keselamatan itu tidak ada bandingannya.”
Imam Ibnu Rajab berkata tentang hadits diatas:
Dalam hadits ini Rasululloh memerintahkan untuk berkata yang baik dan tidak berbicara selainnya. Ini menunjukkan bahwa tidak ada disana suatu perkataan yang seimbang dari segi perintah untuk mengucapkannya atau diam darinya.
Bahkan adakalanya berupa kebaikan yang diperintahkan untuk diucapkan, dan adakalanya bukan suatu kebaikan sehingga diperintah untuk diamdarinya.
Maka tidaklah perkataan itu diperintahkan untuk selalu diucapkan, dan tidak juga diperintahkan untuk selalu diam. Tetapi wajib berkata yang baik dan diam dari perkataan yang jelek.
Ulama’ salaf banyak memuji sikap diam dari ucapan jelek, dan dari perkataan yang tidak perlu. Karena sikap diam itu sangat berat bagi jiwa. Sehingga banyak manusia yang tidak kuasa mengekang diri. Oleh karena itu, ulama’ salaf berusaha mengekang diri-diri mereka, dan bersungguh-sungguh untuk diam dari bicara hal-hal yang tidak perlu.
(Jami’ul Ulum wal Hikam 1/340, 346; Dikutip dari majalah Al-Furqon 2/II/1423H hal 19 – 20; dari blogvbaitullah)
Standar minimal seorang muslim adalah terjaganya ia dari kejelekan LISAN dan tangannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‎الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang tidak mengganggu muslim yang lain dengan lisan dan tangannya. ”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang paling baik islamnya adalah yang paling menjaga lisannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‎أَفْضَلُ اْلمُؤْمِنِينَ إِسْلاَمًا مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ
“Orang muslim yang paling baik (kualitas) keislamannya adalah orang yang kaum muslimin merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya.”
(Shahiih; HR. Ath-Thabrani dalam al-Kabiir, Ibnu Nashar dalam ash-Shalat, lihat ash-Shahihah no.1491)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
‎إِنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ قِلَّةَ الْكَلامِ فِيمَا لا يَعْنِيهِ
“Sesungguhnya merupakan kebaikan Islam seseorang adalah sedikitnya bicara hal-hal yang yang tidak bermanfaat baginya”
[Hasan lighåyrihi, Diriwayatkan oleh Ahmad 1/210 serta Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir (no. 2886) dan Ash-Shaghiir 2/1]
Pejagaan lisan merupakan salah satu sebab yang membantu istiqamahnya seseorang diatas agamanya
Rasulullah setelah menyebutkan semua hal-hal yang wajib, hal-hal yang sunnah, dan sebagainya, maka beliau bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ
“Maukah kamu aku kabarkan dengan sesuatu yang menguatkan itu semua?”
Aku menjawab; ‘Ya, wahai Nabi Allah.’
Lalu beliau memegang lisannya, dan bersabda:
كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا
“‘Tahanlah atasmu ini.”
Aku bertanya; ‘Wahai Nabi Allah, (Apakah) sungguh kita akan diadzab disebabkan oleh perkataan yang kita ucapkan?’
Beliau menjawab;
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“(Celakalah kamu) ibumu kehilanganmu wahai Mu’adz, Tidaklah manusia itu disunggkurkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan karena hasil ucapan lisan mereka?”
Abu Isa berkata; ‘Ini hadits hasan shahih.’
(Shahih, Diriwayatkan oleh, Ahmad, Tirmidziy, Nasa’iy, Ibnu Majah, Ma’mar, Ibnu Humaid, Al-Mawarjiy, Ath-thåbråniy, Al-Qådhååiy, Al-Baihaqiy, Al-Baghawiy)
Dalam hadits Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
‎إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ
“Jika anak Adam memasuki pagi hari, sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan:
‎اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
“Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami. Sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqomah, maka kami juga istiqomah. Jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang”.
[HR Tirmidzi, no. 2407, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/17, no. 1521. Lihat pula Jami'ul 'Ulûm wal-Hikam, 1/511-512; dinukil dari almanhaj]
Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Mâlik , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.
‎لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga”.
[HR Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/13; dinukil dari almanhaj]
Penjagaan lisan merupakan sebab keselamatan seseorang
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan, menjaga lidah merupakan keselamatan.
“Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata: “Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
‎أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
“Kuasailah lidahmu, rumah yang luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu”.
[HR. Tirmidzi, no. 2406; dinukil dari almanhaj].
Maksudnya, janganlah berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikan, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah menyesali kesalahan-kesalahan dengan cara menangis.
[Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi; dinukil dari almanhaj]
Jaminan nabi kepada orang-orang yang menjaga lisannya
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
‎مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya (yaitu LISANnya) dan apa yang ada di antara dua kakinya, (yaitu KEMALUANnya), niscaya aku menjamin surga baginya”.
[HR Bukhâri, no. 6474. Tirmidzi, no. 2408. Dan lafazh ini milik al-Bukhâri; dinukil dari almanhaj]
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
‎اضْمَنُوا لِي سِتًّا مِنْ أَنْفُسَكُمْ أَضْمَنْ لَكُمُ الْجَنَّةَ :
“Jaminlah bagiku enam perkara, maka aku akan menjamin bagimu surga;
‎أَدُّوا إِذَا ائْتُمِنْتُمْ
Jujurlah jika kalian berbicara,
‎وَأَوْفُوا إِذَا عَاهَدْتُمْ
tunaikanlah jika kalian berjanji,
(sampai akhir hadits)
(Lihat as-silsilah as-shahihah, Syaikh al-Bani –rahimahullah. No 1470; lihat syarahnya disini)
Maka hendaknya kita senantiasa menjaga lisan kita dari hal-hal yang jelek dan tidak bermanfaat, dan menghiasinya dengan hal-hal yang baik, yang benar, yang memiliki kemaslahatan yang jelas.

-----

Tiga Wasiat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam (3/3)

3. Bergaul kepada manusia dengan akhlak yang baik

Perhiasan terbaik bagi seseorang adalah agama yang kuat dan akhlak yang mulia. Sesungguhnya kebaikan akhlak merupakan sifat yang mulia nan tinggi. Barangsiapa yang menghiasi dirinya dengannya, niscaya sifatnya akan terhias indah dan hatinya akan jernih. Akhlak yang baik mencabut kedengkian dan memikat hati. Akhlak yang baik merupakan kehidupan kedua dan kehormatan abadi bagi setiap muslim. Akhlak yang baik merupakan sifat yang tinggi.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia.”
(Shahiih, HR. Ahmad; lihat as-silsilah ash-shahiihah)
Segala makna yang dikandung oleh sifat ini mensucikan seorang muslim dari kotoran-kotoran lisan dan qalbu. Kemudian, dengan semua itu dia menaiki martabat ihsan kepada penciptaNya dan sesama manusia. Dengan akhlak mulia, seorang muslim akan meraih kesempurnaan dalam imannya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
‎أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1082. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 1232; dinukil darisini)
Bila kita membaca siroh (perjalanan hidup) beliau, niscaya akan kita dapatkan wujud nyata dari sabda beliau ini, beliau benar-benar sebagai uswah paling bagus dalam menerapkan akhlak karimah. Sebagai seorang hamba, beliau adalah hamba Allah yang paling mulia akhlaknya, sebagai seorang pemimpin, beliau adalah pemimpin yang paling adil, bijak, dan sabar, sebagai seorang suami, beliau adalah suami yang paling baik terhadap istrinya.
Allah telah memberikan persaksian-Nya akan hal ini dengan berfirman:
‎وإنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sungguh-sungguh engkau berbudi pekerti yang agung.”
(QS. Al Qalam: 4)
Bila kita hendak menghitung satu persatu akhlak beliau, niscaya kita akan menghadapi kesulitan, oleh karena itu Aisyah memberikan gambaran yang sangat jelas akan akhlak beliau dengan mengatakan:
‎كَانَ خُلُقُهُ القُرْآن
“Akhlak beliau adalah Al Quran.”
Inilah hakikat agama islam, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, sehingga banyak dari mereka beranggapan, bahwa agama islam identik dengan kekerasan, teroris, kaku, dll. Dan untuk lebih jelasnya, mari kita renungkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
‎أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1082. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 1232; dinukil darisini)
Dalam riwayat Ahmad:
‎ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِكُمْ
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istri-istrinya.”
(Shahiih, HR. Ahmad)
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‎إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya.”
(HR. Tirmidzi, ia berkata ‘hadits ini hasan gharib’. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi; dinukil darisini)
Syaikh al-’Utsaimin berkata,
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa orang yang paling dekat dengan beliau adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya. Maka apabila akhlak anda semakin mulia niscaya kedudukan anda di hari kiamat kelak akan semakin dekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan selain anda.
(Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 396-397; dinukil darisini)
Landasan pergaulan sesama muslim
Hadits-hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk bersahabat dan disahabati sangat banyak sekali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan hal ini dan menjelaskan keutamaan persaudaraan karena Allah, keutamaan saling mencintai karena Allah, dan menjelaskan keutamaan seorang mukmin yang bergaul (bersahabat) dan (bisa) disahabati dan hendaknya seorang mukmin dekat dengan saudara-saudaranya dalam banyak hadits.
Diantaranya adalah:
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
‎إن أقربَكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنُكم أخلاقا، المُوَطَّئُوْنَ أكنافا . الذين يَأْلَفُوْنَ ويُؤْلَفُوْنَ
((Sesungguhnya yang terdekat denganku tempat duduknya pada hari kiamat yaitu mereka yang terbaik akhlaknya diantara kalian yang pundak-pundak mereka terbentang[*] yang bersahabat dan disahabati))
[Mushonnaf Abdurrozaq As-Shon’ani 11/144 no 0153, At-Tobroni dalam Al-Mu’jam As-Shogir 2/89 no 835, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/270 no 8118, Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini (dengan lafal seperti ini) adalah hasan ligoirihi (Shahih At-Targhib wat tarhib no 2658); dinukil darisini]
‎* المُوَطَّئُوْنَ yaitu dengan sighoh isim maf’ul diambil dari kalimat التوطئة yang maknanya membentangkan (merendahkan). Disebut فراش وطيء tempat tidur yang terbentang jika tidak mengganggu lambung yang tidur di atasnya. Dan yang dimaksud dengan الأكناف adalah sisi-sisi tubuh seseorang dan maskud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang sisi-sisi mereka terbentang yang memungkinkan dijadikan sahabat dengan tidak merasa terganggu, dan ini merupakan balagoh yang sangat baik
(Faidul Qodir 3/464-465; dinukil darisini)
Dan juga dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya yang diriwayatkan dari beberapa jalan dan ia adalah hadits yang shahih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
‎المؤمن يألف ويؤلف
((Seorang mukmin itu bersahabat dan disahabati))
[HR At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 6/58 no 5787. Berkata Al-Haitsami "Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bazzar dan para perowi Ahmad adalah para perowi as-shahih” (Majma’Az-Zawaid 8/87); dinukil darisini]
Dalam lafazh yang lain:
‎ المؤمن مَألفة
((Seorang mukmin itu adalah tempat untuk persahabatan))
[HR Ahmad 5/335 no 22891, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/271 no 8120, At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 6/131 no 5744 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/784 no 425; dinukil darisini]
Orang yang melihatnya merasa sreg (merasa tenang) bersahabat dengannya karena tidaklah yang ia menampakkan pada saudara-saudaranya dan pada masyarakat kecuali kebaikan. Allah telah memerintahkan hal itu kepada seluruh manusia dalam firmanNya
‎وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
(serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia)
(QS. 2:83).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
‎الْمُؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ ، وَلا خَيْرَ فِيمَنْ لا يَأْلَفُ وَلا يُؤْلَفُ
((Orang mukmin adalah bersahabat dan disahabati dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bersahabat dan tidak disahabati))
[Lihat As-Shahihah 1/784 no 425; dinukil darisini]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتُدْرِكْهُ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْتِي إِلَى النَّاسِ مَا يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
“Barangsiapa ingin dijauhkan dari api neraka, dan ingin dimasukkan ke dalam surga maka hendaklah ia menemui kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, serta memberikan kepada manusia sesuatu yang ingin diberikannya kepadanya.”
(Shåhiih, HR. Ahmad; dishahiihkan oleh Syaikh Ahmad Syaakir)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya segala (kebaikan) yang dia sukai bagi dirinya sendiri”
[HR Al-Bukhari (13) dan Muslim (45); dinukil darisini]
dalam riwayat lain:
‎وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْه
“Hendaknya ia memberi kepada orang lain apa yang ia suka untuk diberikan padanya.”
[HR Muslim (1844); dinukil darisini]
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎لاَتَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوْا
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman dan tidaklah ada (kesempurnaan) iman sampai kalian saling mencintai…”
[(HR Muslim (54), Abu Dawud (5193), dan at-Tirmidzi (2689); dinukildarisini]
Mengikat tali persaudaraan diatas iman dan takwa
Allah dalam Al-Qur’an yang agung telah menganugerahkan kenikmatan bagi hamba-hambaNya dengan menjadikan mereka -dengan anugerahNya, dengan Islam- menjadi saling bersaudara.
Allah berfirman
‎فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتٌمْ عَلَى شَفَى حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
“Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya”
(QS Ali ‘Imron 103)
Allåh berfirman
‎إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.
(Al-Hujuraat: 10)
Råsulullåh shållallåhu ‘alauhi wa sallam bersabda:
‎كُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
…jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara…
(HR. Muslim)
Dan Allah telah menganugerahkan kenikmatan bagi hamba-hambaNya yang beriman dengan menyatukan hati-hati mereka, dengan anugerah-Nya Allah menjadikan mereka saling bersaudara, yang hal ini menunjukan kepada kita bahwa kecintaan karena Allah dan bahwasanya persaudaraan karena Allah adalah merupakan kenikmatan yang sangat agung yang telah Allah tanamkan di antara hati-hati orang-orang yang beriman, satu dengan yang lainnya dan hendaknya memperhatikan kenikmatan yang agung ini, menjaganya, dan mengakui bahwa ia adalah anugerah dari Allah.
Oleh karena anugerah dari Allah hendaknya dijaga dan kesengsaraan hendaknya dijauhi dan diwaspadai. Oleh karena itu Allah berfirman فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا ((Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara)), berkata sebagian Ulama menafsirkan firman Allah بِنِعْمَتِهِ (karena nikmat-Nya), ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya tali cinta kasih diantara kaum mu’minin hanyalah karena karunia Allah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:
‎لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka”
(QS Al-Anfal:63)
Maka yang menjadikan seseorang mencintai yang lainnya dan menjadikan hati-hati manusia menjadi bersatu padahal mereka berasal dari penjuru dunia yang beraneka ragam, dari ras dan bangsa yang bermacam-macam, dari martabat yang bertingkat-tingkat, yang menjadikan mereka saling mencintai, menjadikan mereka sama dalam perkara yang satu yaitu beribadah kepada Allah –yaitu mereka menjadi saling bersaudara karena Allah- adalah Allah dengan karunia nikmat-Nya.
Oleh karena itu Allah berfirman:
‎قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan”
(QS Yunus 58)
Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya membawakan perkataan ‘Umar dalam menafsirkan ayat diatas:
“Karunia Allah dan rahmatNya adalah Al-Qur’an”
[Tafsir Ibnu Abi Hatim 6/1960 no 10435; dinukil darisini]
Maka perkara yang paling agung untuk digembirakan adalah seorang hamba (yang bersaudara) adalah (memupuk tali persaudaraan dengan bahu-membahu) melaksanakan perkara-perkara yang datang dalam Al-Qur’an, yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah sesuatu yang terbaik bagi kita baik di kehidupan dunia maupun di akhirat kelak.
Allåh berfirman:
‎وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
(Al Maa-idah: 2)
Allah berfirman
‎وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَرِ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.
(QS. 9:71)
Para ulama mengatakan bahwa firman Allah { بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ} ((Sebagian mereka dari sebagian yang lain)) yaitu sebagian mereka menolong sebaian yang lain, sebagian mereka mengasihi sebagian yang lain, sebagian mereka mencintai sebagian yang lain dan seterusnya demikan pula pada hak-hak persaudaraan yang lainnya.
Maka saling berwala (sikap loyalitas diantara kaum mukminin) merupakan ikatan yang terjalin antara seorang mukmin dengan mukmin yang lain, antara seorang muslim dengan muslim yang lain, dan hal ini (loyalitas tersebut) memiliki tingkatan-tingkatan berdasarkan tingkat hubungan diantara mereka, berdasarkan tingkat kasih sayang antara seseorang dengan saudaranya, dan hak-hak (persaudaraan) ini banyak macamnya dan kami hanya menyebutkan sebagian saja.
(dinukil darisini)
Keutamaan persaudaraan karena Allah
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلَالِي الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلِّي
Bahwasaya Allah berfirman pada hari kiamat “Dimanakah orang-orang yang saling mengasihi dengan keagunganKu, maka pada hari ini aku menaungi mereka di bawah naunganku pada hari tidak ada naungan kecuali naunganKu”
(HR Muslim no 2566, dari hadits Abu Hurairah, kitabul Adab, bab Fadlul hubbi fillah; dinukil darisini)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)’
(HR. Muslim)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ
”Tiga perkara yang jika terdapat pada diri seorang maka ia akan merasakan manisnya iman:
مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
(1) Jika Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya.
وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ
(2) Ia mencintai seseorang yang mana tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah.
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
(3) Ia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut, sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam Neraka”
[HR al-Bukhari (16 dan 21), serta Muslim (43); dinukil darisini]
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ
“Ada tujuh golongan yang akan Allah naungi dengan naungan-Nya, pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.
الإِمَامُ الْعَادِلُ
(1) Pemimpin yang adil.
وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللهِ
(2) Pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah.
وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ
(3) Pria yang hatinya selalu terikat dengan masjid.
وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ
(4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah; dia berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya.
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا، حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ،
(5) Seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dikeluarkan oleh tangan kanannya.
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ،
(6) Seseorang yang berdzikir kepada Allah secara menyendiri, lalu air matanya berlinang.
وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إلى نَفْسِهَا فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
(7) Lelaki yang diajak (berzina) oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, lalu dia berkata: ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah `Azza wa Jalla.’”
[Riwayat al-Bukhari dalam Shahīh-nya I/234/629 dan Muslim dalam Shahīh-nya II/715/1031; dinukil darisini]
Ketinggian derajat akhlak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
‎إِنَّ الرَّجُلَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
”Sesungguhnya seseorang yang memiliki akhlak yang baik benar-benar akan mencapai derajat orang yang shalat malam dan berpuasa pada siang harinya.”
(HR. Imam Ahmad Al-Fathur Rabbani (XIX/76) dan Al Hakim (I/60), dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 1620; dinukil darisini).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
‎مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ
“Tidak ada satu apapun yang diletakkan di atas mizan yang lebih berat daripada akhlak yang baik. Sesungguhnya pemilik akhlak yang baik benar-benar akan mencapai derajat orang yang berpuasa lagi mendirikan shalat.”
(HR. At-Tirmidzi no. 2003 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 5726; dinukil darisini)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
‎أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku pemimpin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat kusir meskipun ia benar.Aku pemimpin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun sendau gurau. Dan aku pemimpin pada sebuah rumah di ketinggian surga bagi orang yang baik akhlaknya.”
(HR. Abu Dawud no.4800 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 1464; dinukil darisini)
Sumber
- “Berhias dengan akhlak yang baik” http://an-naba.com/berhias-dengan-akhlak-yang-baik/
- “Sudahkah kita meneladani akhlak salafush shalih?”http://abumushlih.com/sudahkah-kita-meneladani-akhlak-salafus-shalih.html/


-----