“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepada mereka (kitab suci) Taurat, kemudian mereka tiada menunaikannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar lagi tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tiada memberi petunjuk bagi kaum yang zhalim.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 5)
Penjelasan Ayat
Salah satu sifat buruk bangsa Yahudi telah disibak melalui ayat di atas. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan ayat ini setelah memberikan anugerah besar yang diterima umat berupa diutusnya seorang Nabi akhir zaman di tengah mereka dengan mengemban risalah terbaik sepanjang masa.
Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullaah mengatakan, “Setelah Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan anugerah (besar) kepada umat ini; dengan diutusnya seorang Nabi yang ummi(buta huruf; tidak mampu baca tulis), serta keistimewaan lain yang telah Allah ‘Azza wa Jalla khususkan bagi mereka, yang tidak dianugerahkan kepada siapapun selain mereka sehingga umat ini mengungguli manusia yang terdahulu dan yang datang kemudian, maupun Ahlu Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang mengklaim bahwa merekalah para ulama rabbani dan para ahli ibadah sesungguhnya. Selanjutnya Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah Allah Subhaanahu wa Ta’aala embankan Taurat kepada mereka dan diperintahkan untuk mempelajari dan mengamalkannya, namun ternyata mereka tidak mengemban (amanat itu dengan baik) dan tidak pula menjalankannya. Karenanya, mereka tidak memiliki keutamaan sedikit pun, justru mereka bak keledai yang memikul kitab-kitab ilmu diatas punggungnya. Apakah keledai itu dapat memanfaatkan kitab-kitab yang berasa di atas punggungnya??! Apakah mereka akan mendapatkan kemuliaan dengan keadaan tersebut?! Ataukah nasibnya hanyalah sekedar memikul saja?! Demikianlah perumpamaan para ulama Yahudi yang tidak mengamalkan Taurat, dimana perintah tergantung dan paling utama yang ada padanya adalah agar mengikuti (petunjuk) Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan beriman kepadanya. Oleh sebab itu, orang semacam mereka hanya akan menjumpai kerugian dan hujat keburukan atas diri mereka sendiri?! Perumpamaan yang sangat sesuai dengan kondisi mereka...”[1].
Tidak saja mengabaikan kandungan kitab suci, mereka juga mengotak-atik dan merubahnya sesuai dengan hawa nafsu. Imam Ibnu Katsir rahimahullaah mengatakan, “Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyampaikan celaan bagi kaum Yahudi yang telah diberi Taurat utntuk diamalkan, namun mereka tidak menunaikannya. Perumpamaan mereka dalam hal itu tak ubahnya seperti keledai yang membawa kitab-kitab, keledai tidak mengetahui apa yang terdapat padanya sekalipun dia memikulnya. Demikian pula (kaum Yahudi) dalam membawa kitab suci yang dikaruniakan kepada mereka, mereka hanya menghafal teks-teksnya saja, tanpa memahami dan tidak pula mengamalkan substansinya. Justru mereka menyelewengkannya, meyimpangkan serta merubahnya. Dengan itu merka menjadi lebih buruk daripada keledai. Karena keledai tidak berakal, sementara mereka memiliki akal namun tidak mempergunakannya....”[2].
Asy-Syaukani rahimahullaah menyebutkan bahwa Maimun bin Mihran rahimahullaah berkata, “Keledai tidak mengetahui apa yang ada diatas punggungnya, apakah kitab suci (dari Allah) ataukah sampah? Demikianlah kaum Yahudi.”[3].Hidayah akan sulit datang kepada mereka karena sifat kezhaliman sangat melekat pada diri mereka. Karena itu, di akhir ayat Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Dan Allah tiada memberikan hidayah bagi kaum yang zhalim.”
Maksudnya, Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidak akan membimbing dan memberikan hidayah taufik kepada orang-orang yang menzhalimi diri mereka sendiri dengan mengkufuri ayat-ayat Rabb mereka dikarenakan sifat kezhaliman dan pembangkangan masih menjadi karakter yang melekat pada mereka.”[4].
Perumpamaan yang Sangat Buruk
Seperti telah dikemukakan di atas, Allah ‘Azza wa Jalla menyerupakan bangsa Yahudi dengan keledai yang termasuk jenis binatang yang bodoh dan tidak disukai manusia. Sudah tentu, permisalan tersebut betul-betul mengandung celaan bagi bangsa Yahudi. Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullaah menegaskan, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menyerupakan manusia dengan jenis binatang melainkan dalam konteks celaan dan hinaan. Sebagaimana firman ayat di atas yang menyebutkan penyerupaan dengan keledai, dan ayat lain yang menyebutkan penyerupaan dengan anjing. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri (meninggalkan) ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai akhirnya dia tergoda, maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalaulah Kami menghendaki, sesungguhnya Kami meninggikan (derajatnya) dengan ayat-ayat itu, namun dia cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya, maka perumpamaannya adalah seperti anjing; bila kamu menghalaunya, dia menjulurkan lidahnya dan bila kamu membiarkannya, maka dia kan menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami...” (QS. Al-A’raf[7]: 175-176)
Begitu pula Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menggunakan binatang sebagai perumpamaan untuk maksud yang sama (cercaan), seperti sabda beliau berikut ini,
“Seorang yang menarik kembali (hadiah) pemberiannya, maka dia tak ubahnya seperti seeokr anjing yang muntah kemudian menelan kembali muntahannya itu.”[5].
Demikianlah Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberikan perumpamaan yang begitu mendalam tentang kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan tidak mengamalkannya. Mereka seperti keledai bodoh yang hanya merasakan kelelahan dengan beban buku-buku tebal yang berada di atas punggungnya saja, tanpa mengetahui apa yang ada padanya. Perumpamaan ini serupa dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala,
“Mereka seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf[7]: 179).
Dan pada bagian akhir ayat utama di atas Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyatakan,
“Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah Subhaanahu wa Ta’aala itu. Dan Allah Subhaanahu wa Ta’aala tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim.”
Syaikh Abu Bakar al-Jazaairi hafizhahullaah dalam kitab tafsirnya menyebutkan sebuah pelajaran berharga bahwa dalam ayat tersebut termuat cercaan bagi orang-orang yang menghafal ayat-ayat Kitabullaah (al-Quran) namun mereka tidak mengamalkan isi kandungannya.”[6].
Ragam Sikap Manusia Terhadap Ayat-ayat Allah Subhaanahu wa Ta’aala
Demikianlah perumpamaan kaum Yahudi dalam hal kebodohan mereka tentang Taurat dan keagungan ayat-ayatnya, seperti keledai dalam kebodohan mereka memikul kitab-kitab (dipunggungnya), hanyalah akan menjadi beban yang melelahkan. Setelah menjelaskan kandungan makna ayat di atas, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullaah menjabarkan ragam sikap dan reaksi manusia dalam berinteraksi dengan ayat-ayat allah Subhaanahu wa Ta’aala sebagai petunjuk :
Pertama:
yang menerima secara lahir dan batin. Mereka ada dua macam :
Orang-orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Mereka itulah para ulama yang memahami dengan baik dan benar tentang maksud-maksud ayat-ayat Allah Subhaanahu wa Ta’aala, selanjutnya mereka dapat memetik intisari pelajaran serta rahasia hikmah yang terkandung didalamnya.
Orang-orang yang menjaga kitab Allah Subhaanahu wa Ta’aala, mengingat serta menyampaikannya, namun mereka bukan termasuk yang dapat memetik intisari hukum maupun pelajaran didalamnya dan tidak pula mampu mengungkapkan kandungan hikmahnya.
Kedua:
orang-orang yang menolak secara lahir dan batin serta mengingkarinya. Golongan ini pun terbagi menjadi dua macam :
Kaum yang mengetahui kebenaran Kitab Allah Subhaanahu wa Ta’aala serta meyakini keabsahannya, namue mereka takluk oleh kedengkian hati, kesombonngan maupun ambisiusme kepemimpinan di hadapan kaum mereka sehingga semua itu membuat mereka menolak kitab suci Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
Adapun yang lainnya adalah para pengikut jenis pertama kelompok ini. Mengagungkan atau mengkultuskan mereka dalam setiap ucapan, sikap dan keputusan. Menjadikan mereka sebagai panutan yang diikuti.
Ketiga:
Mereka yang telah mendapatkan pelita hidayah kemudian menjadi buta dan tersesat, telah berilmu kemudian menjadi gelap hati tanpa cahaya, telah beriman namun kemudian berpaling kafir mengingkari. Mereka itu adalah para pemuka kaum munafiqin.
Atau mereka yang memiliki pandangan lemah. Mereka menjauh dari mendengarkan al-Quran, kalaupun mereka mendengarnya, maka mereka menutup telinga seraya berkata, “jauhkan kami dari ayat-ayat ini!”. Bahkan seandainya mereka mampu, niscaya mereka akan mengambil tindakan buruk bagi siapapun yang memperdengarkan al-Quran atau mengajarkan kepada mereka. Nau’udzubillaah min dzaalik.
...bersambung in syaa Allaah...
No comments:
Post a Comment