Oleh: Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, MA
----------
Kemarahan yang meledak dari umat Islam di bumi belahan timur dan barat kepada orang-orang yang melecehkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, menyisakan pertanyaan, “Sejauh manakah kita taat kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam?” Umat Islam telah berpecah belah menjadi sekian kelompok dan golongan. Setiap golongan mersa mantap dengan apa yang diyakininya. Padahal Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam telah memperingatkan bahaya perpecahan. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, dari Auf bin Malik bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
"Demi Dzat yang aku berada di tangan-Nya. Umatku akan benar-benar terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Satu golongan di surga dan tujuh puluh dua golongan di neraka.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka (yang berada di surga)?” Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “al-jama’ah.” (HR. Abu Dawud no. 1299, Ibnu Majah no. 3992, dishahihkan al-Albani).
Persatuan umat yang terbentuk di hadapan musuh ketika membela kehormatan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, mestinya dijadikan momen utnuk mengajak kaum Muslimin seluruh dunia agar meninggalkan perpecahan dan silang pendapat untuk selanjutnya bersatu di bawah naungan Kitabullah dan Sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dengan pemahaman Salaful Ummah, serta bergabung bersama para Ulama pemegang panji tauhid dan pembela kehormatan dan sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.
Ketaatan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam merupakan konsekuensi dan tuntutan dari syahadat (persaksian) kita bahwa Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam adalah utusan Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab persaksian bahwa Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam benar-benar utusan Allah ‘Azza wa Jalla maknanya adalah menaati perintahnya, membenarkan berita yang beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sampaikan, menjauhi larangan dan peringatannya Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam serta tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat beliau.
Demikianlah bentuk pengagungan yang sempurna kepada beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam serta penghormatan yang tertinggi. Pengagungan model apakah yang bisa diberikan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa Sallam oleh orang yang meragukan atau enggan taat kepada beliau atau mengadakan bid’ah dalam agama beliau dan beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara yang tidak sesuai dengan cara beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ?! Karena itu, begitu keras pengingkaran Allah kepada orang-orang yang melakukan ibadah dengan cara-cara yang tidak pernah disyariatkan. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. As-Syuura[42]: 21)
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari no. 2550 dan Muslim no. 4590)
Bukti pembelaan yang serius terhadap (kehormatan) Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam adalah dengan mengagungkan syari’ah (risalah) yang beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bawa dalam al-Quran dan Sunnah (Hadits) dengan pemahaman Salaful UmmahYaitu dengan cara mengikuti dan berpegang teguh dengannya secara lahir dan batin, selanjutnya dengan menjadikan syariat ini sebagai hakim (penengah) dalam segenap sisi kehidupan dan urusan-urusan yang khusus maupun umum. Sungguh mustahil, keimanan akan sempurna tanpa itu. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Dan mereka berkata, ‘kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).’ Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur[24]: 47).
Sikap ini jelas merupakan bentuk pembelaan yang hakiki dan penghormatan yang sejati. Pasalnya, standar penilaian dalam segala urusan adalah kenyataan yang terbukti, bukan sekedar penampilan lahiriah atau simbol-simbol kosong atau pernyataan hampa. Karenanya, Allah mengedepankan adab ini dari adab-adab lain yang mesti dilakukan bersama Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Allah ‘Azza wa Jalla melarang mendahului keputusan beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dengan keputusan yang tidak sejalan dengan keputusan beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam atau pernyataan yang tidak sesuai dengan sabda beliau. Akan tetapi, mestinya mereka mengikuti segala perintah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, tunduk kepada beliau dan menjauhi larangan beliau. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman di permulaan surat al-Hujuraat :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujuraat[43]: 1).
Termasuk sikap taqaddum baina yadaihi (lancang mendahului beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) yaitu sikap lebih memprioritaskan pemakaian undang-undang dan peraturan produk manusia daripada syariat yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam atau lebih mengutamakan hukum lain dari pada hukum (ketetapan hukum) beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam atau menyamakan hukum produk manusia tersebut dengan ketetapan hukum nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam atau berkomitmen untuk tetap berpegang teguh dengan ketentuan yang jelas-jelas bertentangan dengan petunjuk beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Allah berfirman :
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa[4]: 65).
Orang yang paling berkomitmen dengan sunnah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan paling besar kesempatannya untuk meneguk air dari telaga Rasulullah adalah ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena mereka menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam serta mengikuti syariat dan petunjuk beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.Sebagian orang ada yang menampakkan bahwa dirinya sedang melakukan pembelaan terhadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, namun ironisnya, ia justru tidak menaati perintahnya atau tidak menjauhi larangan dan tidak menghiraukan peringatan beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Bahkan terkadang kita temukan, sebagian dari mereka bermalasan dalam menjalankan shalat fardhu, mencukur jenggot, isbal (memanjangkan celana sampai menutupi mata kaki) dan berbuat berbagai macam maksiat dan kemungkaran.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah mengatakan, “Pengagungan kepada para utusan Allah diwujudkan dengan cara membenarkan berita yang mereka kabarkan dari Allah, menaati perintah mereka, mengikuti, mencintai dan berwala kepada mereka, bukan (sebaliknya) malah mendustakan risalah yang mereka emban, menomorduakan mereka atau berbuat melampaui batas dalam mengagungkan mereka. Justru ini adalah bentuk kekufuran terhadap mereka, pelecehan dan permusuhan terhadap mereka.”
Jadi, ittiba’ (mengikuti) rasul adalah barometer untuk mengukur sejauh mana kejujuran orang yang mengaku-aku mengagungkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Sebab, tidak masuk di akal atau tidak dapat dibayangkan ada orang mengklaim mengagungkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan menghormati beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, tapi (pada saat yang sama, dia) tidak berpegang teguh dengan perintah atau larangan beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, tidak memberikan perhatian dan memperhitungkan apa yang dibawa beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.Allah telah menjadikan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sebagai pertanda kecintaan kepada-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Ali Imran[3]: 31)
Bahkan lebih dari itu, Allah ‘Azza wa Jalla menjadikannya sebagai syarat keimanan dimana pengagungan terhadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam merupakan bagian dari keimanan itu Allah Subhaanahu wa Ta’aal berfirman,
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa[4]: 65).
Ittiba’ juga merupakan sifat kaum Mukminin, sebagaimana terkandung dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
“Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) dianta mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur[24]: 51).
...in syaa Allaah bersambung...
No comments:
Post a Comment