Friday, May 31, 2013

DELAPAN NASEHAT

Syaqiq al-Balkhi berkata kepada Hatim, “Kita sudah bergaul beberapa waktu lamanya, apa yang telah kamu pelajari?” Dia menjawab, “Delapan masalah:
Pertama: Aku memperhatikan manusia, setiap orang mempunyai orang dicintainya, bila sudah tiba di kuburan maka keduanya berpisah, maka aku menjadikan kekasihku adalah kebaikan agar ia selalu bersamaku dalam kubur.
Kedua: Aku membaca firman Allah,
 وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى [النازعات/40] 
“Dan menahan diri dari hasrat hawa nafsunya.” An-Nazi’at: 40, maka aku berupaya keras agar jiwaku melawan hawa nafsunya, sehingga ia bersemayam di atas ketaatan kepada Allah.
Ketiga: Aku melihat siapa yang mempunyai sesuatu yang berharga maka dia akan menjaganya, kemudian aku membaca firman Allah, 
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ [النحل/96] 
”Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah akan kekal.” An-Nahl: 96, maka setiap aku mempunyai sesuatu yang berharga, aku memberikannya kepada Allah agar ia terjaga di sisiNya.
Keempat: Aku melihat orang-orang berlomba-lomba dalam urusan harta, kedudukan dan kemuliaan, padahal ia bukan apa-apa, lalu aku melihat kepada firman Allah, 
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ [الحجرات/13] 
”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Al-Hujurat: 13, maka aku berusaha bertakwa agar menjadi orang mulia di sisi Allah.
Kelima: Aku melihat orang-orang saling dengki, lalu aku membaca firman Allah, 
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا [الزخرف/32] 
“Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka di dunia ini.” Az-Zukhruf: 32, maka aku membuang kedengkian.
Keenam: Aku melihat manusia saling bermusuhan, lalu aku membaca firman Allah, 
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا [فاطر/6] 
”Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu maka jadikanlah dia sebagai musuhmu.” Fathir: 6, maka aku tidak memusuhi manusia dan menjadikan setan sebagai musuh satu-satunya.
Ketujuh: Aku melihat manusia merendahkan diri mereka dalam mencari rizki, maka aku membaca firman Allah,
 وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا [هود/6] 
”Dan tidak ada satu binatang melata pun di muka bumi kecuali Allah memberinya rizki.” Hud: 6, maka aku menyibukkan diriku dengan apa yang menjadi hak Allah atasku dan meninggalkan hakku di sisiNya.
Kedelapan: Aku melihat mereka mengandalkan perdagangan, pekerjaan dan kesehatan tubuh mereka, maka aku bertawakal kepada Allah.
Mukhtahsar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah.

Sunday, May 26, 2013

Dengan Niat, Amal Dunia Jadi Ladang Akhirat (bag 03)

MENGGABUNGKAN NIAT DUNIA DAN AKHIRAT
Setelah membaca keterangan di atas, mungkin Anda menduga bahwa Anda tidak dibenarkan untuk menggabungkan niat menikmati rutinitas dengan mencari keridhaan Allâh Azza wa Jalla ?
Tidak demikian saudaraku! Menggabungkan antara keduanya adalah sah-sah saja, namun tentu nilai ibadah Anda pun berbeda. Semakin Anda berhasil memurnikan niat pada rutinitas Anda hanya karena Allâh, semakin besar pula pahala Anda. Namun sebaliknya semakin besar keinginan Anda untuk mewujudkan kepentingan pribadi Anda, maka semakin kecil pula nilai ibadah amalan Anda. Renungkan kisah berikut dari Nabi Shallallahu ‘alaii wa salam:
)أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِى قَرْيَةٍ أُخْرَى، فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا، فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَال:َ أُرِيدُ أَخًا لِى فِى هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ: هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا؟ قَالَ: لاَ، غَيْرَ أَنِّى أَحْبَبْتُهُ فِى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: فَإِنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ( 
Ada seorang lelaki hendak menjenguk saudaranya yang berdomisili di kampung lain. Maka Allâh memerintahkan seorang malaikat untuk mencegatnya di tengah jalan. Tatkala lelaki itu melintasi malaikat tersebut, malaikat bertanya, "Kemanakah engkau hendak pergi ?" Ia menjawab, "Aku hendak menjenguk saudaraku di kampung ini." Kembali malaikat bertanya, "Apakah engkau memiliki sesuatu kepentingan yang hendak engkau selesaikan darinya ?" Kembali ia menjawab, "Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala ." Mendengar jawaban itu, malaikat itupun berkata, "Sesungguhnya aku adalah utusan Allâh untuk menkabarkan kepadamu bahwa Allâh telah mencintaimu, sebagaimana engkau telah mencintai saudaramu karena-Nya.” [HR. Muslim]
Berkunjung ke sahabat atau saudara, pasti mendatangkan banyak manfaat di dunia. Namun tatkala lelaki di atas tidak memiliki niat lain dari kunjungannya terhadap saudaranya itu selain karena upaya melanggengkan hubungannya yang tulus karena Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh-pun mencintainya. Suatu pahala yang sangat besar yang sangat didamba oleh setiap insan yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , termasuk Anda.
Dan dari alur kisah hadits di atas, dapat dipahami bahwa andai lelaki itu memiliki kepentingan lain yang tidak bertentangan dengan ketulusan cintanya, tentu ia tidak mendapatkan keutamaan tersebut. 
PENUTUP
Apa yang telah saya paparkan pada tulisan sederhana ini tentunya hanya sekelumit dari pembahasan tentang niat. Terlalu banyak pembahasan tentang niat yang seyogyanya kita ketahui, terlebih-lebih kiat-kiat mewujudkan niat yang tulus dan benar dalam hidup nyata. Hati Anda walau terletak dalam dada anda, namun tidak mudah untuk menundukkannya. Sufyan ats-Tsauri berkata :
مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نَفْسِي مَرَّةً لِي وَمَرَّةً عَلَي
َّAku tidak pernah membenahi suatu hal yang lebih berat dibanding jiwaku sendiri. Kadang kala patuh dengan keinginanku dan sering pula tidak.” 
Ya Allâh, Wahai Pembolak-balik hati, tetapkanlah niat kami di atas ketaatan kepada-Mu. Amiin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
...Alhamdulillaah selesai...
----------
link:

http://almanhaj.or.id/content/3624/slash/0/dengan-niat-amal-dunia-jadi-ladang-akhirat/

Dengan Niat, Amal Dunia Jadi Ladang Akhirat (bag 02)

MENGENAL DUA MACAM AMALAN
Untuk dapat menjadikan setiap aktifitas Anda bernilai ibadah, maka terlebih dahulu Anda harus mengenali berbagai aktifitas Anda dan niat-niat Anda pada setiap amalan. Para Ulama’ menjelaskan bahwa secara global amalan terbagi menjadi dua :
1. Amalan Yang Tidak Sah Bila Tanpa Niat.Contoh amalan jenis ini ialah berbagai amal ibadah murni, seperti shalat, puasa, haji, wudhu dan lain sebagainya. Andai Anda melakukan amal ini tanpa disertai dengan niat, niscaya amalan Anda tertolak dan tidak mendapatkan pahala. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ
Tiada (ada) puasa bagi orang yang tidak membulatkan niatnya untuk berpuasa sebelum terbit fajar. [HR. Abu Dâwud, at-Tirmizi dan lainnya]
2. Amalan Yang Sah Walau Tanpa Niat. Berbagai amal ibadah yang mendatangkan manfaaat bagi pelakunya atau orang lain adalah contoh nyata dari amalan jenis ini. Misalnya menolong orang kesusahan, menyambung tali silaturahmi, sedekah, dan yang serupa. Dan diantara contoh amalan ini ialah amalan dalam bentuk meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam syari’at. Misalnya, bersuci najis, mengembalikan barang rampasan, membayar hutang, dan yang semisal denganya. Bila Anda mengamalkan amalan jenis ini tanpa niat, maka amalan Anda sah alias menggugurkan kewajiban, namun Anda tidak mendapatkan pahala darinya.
BEDA ANTARA SAH DAN DITERIMA
Mungkin Anda bertanya, sebenarnya apa sih perbedaan antara sah dengan diterima ? Ketahuilah saudaraku, bahwa setiap amalan yang diterima pastilah sah, namun belum tentu amalan yang sah diterima Allâh Azza wa Jalla . Karenanya, walaupun ibadah orang-orang munafiq sah di dunia, namun di akhirat tidak diterima. Sebagaimana shalat orang yang mendatangi dukun sah di dunia, namun di akhirat tidak mendapatkan pahala, alias tidak diterima.
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barangsiapa mendatangi tukang ramal, lalu ia bertanya sesuatu kepadanya, maka tidak akan diterima satu shalatpun darinya selama empat puluh hari. [HR. Muslim]
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Maksud hadits ini, shalatnya tidak mendapat pahala, walaupun sah dan bisa menggugurkan kewajiban si pelaku dan tidak perlu diulang.” [Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi rahimahullah, 14/227]
DUA MACAM NIAT
Para ulama’ juga menjelaskan bahwa Anda dituntut untuk menghadirkan dua jenis niat, pada setiap kali beramal :
1. Niat menjalankan amalan alias mengamalkan amalan dengan sadar. Niat macam ini merupakan syarat sah suatu amalan. Niat dengan kategori inilah yang biasanya dibahas dalam kitab-kitab fiqih. Bila Anda berenang di kolam renang, namun Anda lupa bila Anda sedang junub, maka walaupun sekujur tubuh Anda telah basah kuyup sebagaimana orang mandi junub, namun tetap saja janabah Anda belum sirna. Karena Anda melupakan niat yang merupakan syarat sah mandi junub.
2. Niat menjalankan amalan karena Allâh Azza wa Jalla (ikhlas).Dengan niat macam ini Anda mendapatkan pahala dari amalan ibadah Anda.Imam as Suyuthi rahimahullah berkata: “Sebagian ulama’ terkini menegaskan bahwa ikhlas adalah suatu yang lebih sebatas niat. Keikhlasan tidaklah mungkin terwujud tanpa niat, namun sebaliknya niat bisa saja terwujud walaupun tanpa ikhlas. Sedangkan para Ulama’ ahli fikih biasanya hanya membicarakan sebatas niat, dan berbagai hukum yang mereka sebutkan hanya berkisar padanya. Adapun keikhlasan, maka itu hanya Allâh yang mengetahuinya." [al-Asybâh wan Nazhâir, hlm. 20]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya para Ulama’ telah sepakat bahwa suatu amalan yang tidak mungkin diamalkan melainkan sebagai ibadah, tidak sah kecuali dengan niat. Berbeda dengan amalan yang kadang dilakukan sebagai amal ibadah dan di lain kesempatan sebagai suatu rutinitas, semisal menunaikan amanat dan membayar piutang. [Majmû’ Fatâwâ, 18/259]
Niat jenis ini merupakan syarat diterimanya setiap amalan. Sehingga amal apapun tidak mungkin diterima dan mendapatkan pahala bila dilakukan dengan tidak ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla .
AMALAN YANG DAPAT BERNIALAI IBADAH DENGAN NIAT
Amalan yang dapat memiliki nilai ibadah karena Anda melakukannya dengan niat yang baik ialah amalan rutinitas yang baik. Bila Anda melakukan amal rutinitas dengan niat yang baik, maka amalan tersebut bernilai ibadah. Namun bila Anda melakukannya karena sebatas rutinitas semata, tanpa memaksudkannya untuk meraih pahala, maka Anda tidak mendapatkan pahala darinya.
Dan yang dimaksud bernilai ibadah ialah Anda mendapatkan pahala dari rutinitas tersebut, tanpa mengurangi fungsi dan manfaat dari rutinitas Anda itu. Sebagai contoh; berhubungan badan dengan istri, adalah cara Anda untuk melampiaskan kebutuhan biologis Anda. Namun bila Anda membubuhkan niat demi menjaga diri Anda dan istri Anda dari maksiat, tentu amalan ini mendatangkan pahala bagi Anda, tanpa mengurangi kepuasan Anda dari hubungan badan tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
)وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ(. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: (أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ، فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ). 
"Dan dengan melampiaskan syahwat birahimu engkau bisa mendapatkan pahala”. Spontan para sahabat bertanya keheranan, "Wahai Rasûlullâh, mungkinkah dengan melampiaskan syahwat birahi, kita mendapatkan pahala karenanya ?" Rasûlullâh balik bertanya, “Apa pendapat kalian bila ia melampiaskannya pada perbuatan haram, bukankah ia berdosa ? Demikian pula sebaliknya bila ia melampiaskannya di jalan yang halal, maka tentu ia mendapatkan pahala.” [HR. Muslim]
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Pada hadits ini terdapat dalil bahwa dengan niat baik, amalan mubah dapat bernilai ibadah. Hubungan badan –misalnya- bernilai ibadah bila dilakukan dengan niat memenuhi hak istri, atau memperlakukannya dengan cara yang baik sebagaimana yang Allâh peritahkan. Demikian juga dengan tujuan mendapatkan keturunan yang shaleh, atau menjaga dirinya atau istrinya dari perbuatan haram. Dan bisa juga dengan maksud melindungi keduanya dari memandang hal haram, membayangkan, atau menginginkannya atau niat-niat baik yang lain.” [Syarah Shahih Muslim oleh An Nawawi 7/92]
Kalau ini baru Anda ketahui, berarti selama ini, Anda rugi besar, karena begitu banyak amal rutinitas Anda yang dapat mengalirkan pahala, namun selalu Anda sia-siakan. Setiap pagi Anda makan dan minum, namun hanya sekedar menuruti selera perut semata. Andai Anda membubuhkan niat agar dapat kembali kuat sehingga bisa menjalankan ibadah, tentu segunung pahala dapat menjadi milik Anda.
Dengan demikian, niat-niat yang selama ini mendorong Anda melakukan berbagai rutinitas Anda, seakan-akan sia-sia belaka. Kepuasan biologis, kesenangan, refresing dan lainnya pastilah tercapai dari rutinitas Anda, baik Anda meniatkannya atau tidak. Namun tidak demikian dengan pahala dan keridhaan Allâh Azza wa Jalla . Tanpa niat yang baik nan tulus, Anda tidak mungkin meraihnya. Sekali lagi renungkan ! Anda memberi uang belanja kepada istri, tentu membuat mereka senang dan akhirnya setia kepada anda. Namun bila Anda membubuhkan niat menjalankan kewajiban yang telah diamanatkan oleh Allâh kepada Anda sebagai suami, tentu ini akan menjadi amal ketaatan yang bernilai tinggi. Disamping istri Anda tetap senang dan dengan izin Allâh semakin setia kepada Anda.Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
Sesungguhnya tidaklah engkau membelanjakan suatu harta demi mendapatkan keridhaan Allâh, melainkan engkau mendapat pahala darinya. Sampai pun sesuap makanan yang engkau berikan kepada istrimu. [Muttafaqun ‘alaih]
Bila demikian, manakah yang lebih menguntungkan, memberi nafkah hanya sebagai rutinitas belaka, atau membubuhkan niat mengharap keridhaan Allâh Azza wa Jalla padanya ? Jawabannya, tentu yang kedua.
...in syaa Allaah bersambung...

Dengan Niat, Amal Dunia Jadi Ladang Akhirat (bag 01)

Oleh Ustadz DR. Arifin Badri MA
PENDAHULUAN
Segala puji hanya milik Allâh Subhanahu wa Ta’ala , shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kelurga dan sahabatnya.
Allâh Azza wa Jalla telah menggariskan bahwa kehidupan umat manusia bukan hanya sekali, namun dua kali. Kehidupan dunia yang fana sebagai awal dari kehidupan dan akan dilanjutkan dengan kehidupan akhirat yang kekal abadi. Sukses Anda di dunia belum tentu berkelanjutan hingga di akhirat. Namun sebaliknya, sukses di akhirat menjadikan Anda lupa akan kegagalan selama hidup di dunia, bagaimanapun beratnya. Apalagi bila Anda ternyata hidup di dunia sukses dan akhirat surga menjadi milik Anda.
ANTARA SIAL DUNIA DAN BERKAH AKHIRAT
Di dunia ini banyak ditemukan pasar, tempat orang mengais kesuksesan di dunia. Dan tentunya ada pula pasar-pasar akhirat, tempat menaburkan benih-benih pahala. Karenanya tidak layak bila kesibukan mewujudkan sukses di dunia, melalaikan Anda dari akhirat. Terlalai dari akhirat karena sibuk menumpuk dunia berarti sengsara selamanya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
 تَعِسَ عبد الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إن أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لم يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وإذا شِيكَ فلا انْتَقَش
َSemoga kesengsaraan menimpa para pemuja dinar, dirham, dan baju sutra (harta kekayaan), bila diberi ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia menjadi benci. Semoga ia menjadi sengsara dan terus menerus menderita. Dan bila ia tertusuk duri, semoga tiada yang sudi mencabut duri itu darinya. [HR. Bukhâri]
Sebaliknya, lalai dari dunia karena sibuk membangun akhirat berarti sukses di dunia akhirat.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ 
... Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allâh, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rizqi dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupinya. Sesungguhnya Allâh (berkuasa untuk) melaksanakan urusan yang dikehendakai-Nya. Sesungguhnya Allâh telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap urusan." [at Thalâq/65:2-3]
Selanjutnya terserah kepada Anda, ingin sukses dunia akhirat atau sengsara selamanya, walau hidup di lumbung harta benda. Sahabat Ali Radhiyallahu anhu berkata :
ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ
Kehidupan dunia bergegas menjauh, sedang akhirat kian mendekat, dan masing-masing memiliki pengikut, maka jadilah pengikut akhirat, serta janganlah engkau menjadi pengikut dunia. Karena sejatinya sekarang ini adalah waktu untuk beramal tanpa ada hisab, sedangkan esok (di akhirat) adalah waktu hisab dan bukan beramal. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 8/155]
DENGAN KETULUSAN NIAT, ANDA PASTI BERUNTUNG
Suatu yang wajar bila dalam suatu perniagaan ada yang beruntung dan ada pula yang merugi. Namun keuntungan adalah cita-cita setiap insan, termasuk Anda. Bukankah demikian saudaraku ? Karenanya, sudikah Anda saya tunjukkan kepada kiat-kiat meraih keuntungan dan tidak pernah bunting ? Sukses di dunia dengan untung segunung dan di akhirat keuntungan Anda tiada berujung ? Tahukah Anda kiat apakah itu? Ketahuilah, kiat itu adalah dengan menjaga hati Anda sehingga selalu tulus karena Allâh atas apapun yang Anda kerjakan, baik ibadah ataupun amal kebiasaan Anda. Dengan niat yang baik, apalagi tulus karena Allâh, amal kebiasaan Anda bernilai ibadah, tanpa mengurangi sedikitpun dari fungsi amal kabiasaan Anda. Demikianlah dahulu para ulama’ menjalani kehidupan mereka. Sahabat Mu’âz bin Jabal Radhiyallahu anhu berkata :
أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُومُ وَأَرْجُو فِى نَوْمَتِى مَا أَرْجُو فِى قَوْمَتِى
Adapun aku, maka aku tidur dan juga shalat malam, namun dari tidurku aku mengharapkan (bisa meraih) apa yang aku harapkan (bisa diraih) dari shalat malamku. [Muttafaqun ‘alaih]
Akan tetapi, sebaliknya, karena lalai dari niat, maka bisa menyebabkan amal ibadah Anda hanya bernilai kebiasaan dan rutinitas semata. Dahulu dinyatakan:
عِبَادَاتُ أَهْلِ الْغَفْلَةِ عَادَاتٌ، وَعَادَاتُ أَهْلِ الْيَقْظَةِ عِبَادَاتٌ
Amal ibadah orang yang lalai hanyalah rutinitas, namun rutinitas orang yang waspada semuanya bernilai ibadah (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhamad Ibnu Utsaimin, hlm. 9)
Subhanallah, walaupun Anda tidur pulas hingga mendengkur, namun itu tidak menghalangi pahala mengalir ke lembaran-lembaran amal Anda. Dengan demikian, indahnya dunia dapat Anda nikmati dan pahala akhirat pun terus mengalir tiada henti. Enak bukan ? 
STATUS AMALAN ANDA SELARAS DENGAN NIAT ANDA
Setelah mengetahui bahwa dengan niat, rutinitas Anda dapat bernilai ibadah, mungkin Anda berkata, "Apabila benar demikian, betapa mudahnya jalan menuju surga ?" Betul saudarku, namun walau demikian, ternyata selama ini Anda berjalan di tempat dan sehingga tetap saja jauh dari pintu surga. Untuk membuktikannya, perkenankan saya bertanya, "Berapa amalankah yang Anda kerjakan ketika Anda membaca tulisan saya ini ?"
Tahukah anda, bahwa sejatinya saat ini Anda sedang mengerjakan beratus-ratus amalan dan mungkin beribu-ribu amalan? Anda terkejut keheranan dan bahkan tidak percaya ?
Untuk membuktikanya, izinkan saya kembali bertanya, "Apakah saat ini Anda sedang berzina ? Apakah saat ini Anda sedang memakan daging babi ? Apakah saat ini Anda sedang menyembah patung ? Apakah saat ini Anda sedang mencari sanjungan (riya’ dan sum’ah) ? Apakah saat ini Anda sedang memakan riba ? Apakah saat ini Anda sedang minum khamer? Dan masih banyak lagi pertanyan serupa yang sudah pasti jawabannya adalah, "Tidak". Walau demikian, selama ini Anda tidak menyadari bahwa Anda sedang mengerjakan semua amalan tersebut ketika Anda membaca tulisan ini atau beraktifitas lainnya. Bila demikian adanya, tentu Anda tidak mendapatkan pahala darinya, padahal Anda telah melakukannya.
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Yang benar, meninggalkan suatu amalan tanpa disertai niat tidak mendapatkan pahala. Anda hanya mendapat pahala bila Anda dengan sadar meninggalkan suatu hal. Sehingga barang siapa di hatinya tidak terbetik sama-sekali tentang suatu amal maksiat, tentu tidak sama dengan orang yang mengingatnya, lalu ia menahan diri darinya karena takut kepada Allâh Azza wa Jalla .” [Fathul Bari 1/15]
Penjelasan Ibnu Hajar ini menggambarkan betapa pentingnya menghadirkan niat baik dalam setiap aktifitas Anda. Tanpa perlu waktu, tenaga atau bekal apapun, lautan pahala menjadi milik Anda. Semua itu dengan mudah Anda gapai hanya berbekal niat baik dalam hati anda.
Ibnul Qayyim rahimahullah lebih jauh menjelaskan, “Sungguh tujuan dan keyakinan hati diperhitungkan pada setiap perbuatan, dan ucapan, sebagaimana diperthitungkan pula pada amal kebaikan dan ibadah. Tujuan, niat dan keyakinan dapat menjadikan satu amalan halal atau haram, benar atau salah, ketaatan atau maksiat. Sebagaimana niat dalam amal ibadah menjadikannya dihukumi wajib atau sunnah, haram atau halal, dan benar atau salah. Dalil-dalil yang mendasari kaedah ini terlalu banyak untuk disebutkan di sini.” [I’lâmul Muwaqî’in, 3/118]
Hadits berikut adalah salah satu dalil yang melandasi penjelasan ulama’ di atas :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ 
Sesungguhnya setiap amalan pastilah disertai dengan niat. Dan setiap pelaku amalan hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka orang yang berhijrah karena menaati perintah Allâh dan rasul-Nya, maka ia mendapatkan pahala dari Allâh karenanya, dan orang yang berhijrah karena urusan dunia, atau wanita yang hendak ia nikahi, maka hanya itulah yang akan ia dapatkan (tidak mendapatkan pahala di akhirat. [Muttafaqun alaih]
...in syaa Allaah bersambung...

Saturday, May 25, 2013

Keutamaan dan Besarnya Pahala Mencintai karena Allah

1. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat, ‘Dimana orang-orang yang saling mencintai karena kemuliaan-Ku? Pada hari ini aku akan menaungi mereka di bawah naungan-Ku, di hari tidak ada naungan kecuali naungan-Ku saja.’” (HR. Muslim).
2. Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘orang-orang yang salling mencintai karena kemuliaan-Ku, bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya, sehingga membuat cemburu para Nabi dan syuhada.’” (At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dan hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani).
3. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…dan seorang lelaki yang mengunjungi saudaranya di ujung kota, ia hanya mengunjunginya karena Allah, maka ia di surga.” (HR. Ath-Thabrani dan dihasankan oleh Al-Albani).
4. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang mengunjungi atau menziarahi saudaranya, Allah berfirman kepadanya, ‘Engkau beruntung, menyenangkan jalanmu dan engkau tinggal di sebuah rumah di surga.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan dihasankan oleh Al-Albani).
5. Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Kecintaan-Ku berhak diberikan kepada orang-orang yang saling mencintai, saling bertemu, saling mengunjungi dan saling memberi karena Aku.’” (HR. Imam Malik dengan sanad shahih, dan dishahihkan oleh Al-Albani).
6. Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah pasti akan membangkitkan sekelompok orang pada hari kiamat, pada wajah mereka terdapat cahaya dari mimbar-mimbar permata, membuat manusia iri kepada mereka, mereka bukanlah para Nabi dan bukan pula syuhada.” Mu’adz berkata, “ Lalu seorang Arab Badui tersungkur di atas kedua lututnya. Ia berkata, ‘Ya Rasulullah, sifatkan mereka kepada kami supaya kami bias mengenalinya?’” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka adalah orang-orang dari kabilah-kabilah dan negeri-negeri entah berantah yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul untuk berdzikir dan mengingat kepada-Nya.” (HR. Ath-Thabrani dan dihasankan oleh Al-Mundziri. Al-Haitsami berkata, “Para rijal haditsnya terpercaya.”).
*
Sumber: Tiket Perjalanan ke Alam Surga karya Nayif bin Mamduh bin Abdul Azizaal Sa’ud hal: 100-102 terbitan Pustaka At-Tibyan. 

Thursday, May 23, 2013

MEMBACA SURAH AL-KAHFI PADA MALAM DAN HARI JUM'AT

Ikhwah fillah yang di Rahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Surah apakah yang mempunyai keutamaan jika dibaca dimalam jum'at sesuai perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam dengan hadits-hadits yang shahih?
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam menganjurkan membaca al-Qur'an Surah Al-Kahfi pada malam Jum'at. Dan berikut pembahasan Ringkasnya.
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radliyallahu 'Anhu , dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :"Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul 'atiq "(Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan al Imam an-Nasai dan Al-Hakim serta dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 736)
Dalam riwayat lain masih dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu : "Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jum'at ".(HR. Al-Hakim : 2/368 dan Al-Baihaqi : 3/ 249.
Ibnul Hajar al Asqolani Hafidzahullah mengomentari hadits ini dalam Takhrij al-Adzkar , “Hadits hasan.” Beliau menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits paling kuat tentang surat Al-Kahfi. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih al-Jami’, no. 6470)
Dari Abdullah bin Umar al Khaththab Radhiyallahu 'Anhuma , berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :“Siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan memancar cahaya dari bawah kakinya sampai ke langit, akan meneranginya kelak pada hari kiamat, dan diampuni dosanya antara dua jumat”
Imam Al-Mundziri Rahimahullah berkata :" Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakr bin Mardawaih dalam tafsirnya dengan isnad yang tidak apa-apa ". (Dari kitab at-Targhib wa al- Tarhib: 1/298)”
1. KAPAN MEMBACANYA ?
Sunnah membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum’at atau pada hari Jum’atnya. Dan malam Jum’at diawali sejak terbenamnya matahari pada hari Kamis. Kesempatan ini berakhir sampai terbenamnya mataharipada hari Jum’at nya.Dari sini dapat disimpulkan bahwa kesempatan membaca surat Al-Kahfi adalah sejak terbenamnya matahari pada hari Kamis sore sampai terbenamnya matahari pada hari Jum’at.
Imam Asy-Syafi'i Rahimahullah dalam Al-Umm menyatakan bahwa membaca surat al-Kahfi bisa dilakukan pada malam Jum'at dan siangnya berdasarkan riwayat tentangnya.(Al-Umm, Imam asy-Syafi'i : 1/237).
Mengenai hal ini, al-Hafidzh Ibnul Hajar al Asqolani Rahimahullaah mengungkapkan dalam Amali -nya : "Demikian riwayat-riwayat yang ada menggunakan kata“hari” atau “malam” Jum’at. Maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud “hari” temasuk malamnya.Demikian pula sebaliknya, “malam” adalah malam jum’at dan siangnya ".(Faidh al-Qadir : 6/199).
DR. Muhammad Bakar Isma’il dalam Al-Fiqh al Wadhih min al Kitab wa al Sunnah menyebutkan bahwa di antara amalan yang dianjurkan untuk dikerjakan pada malam dan hari Jum’at adalah membaca surat al-Kahfi berdasarkan hadits diatas. (Al-Fiqhul Wadhih minal Kitab was Sunnah, hal 241).
2. SURAH AL - KAHFI DAN FITNAH DAJJAL
Manfaat lain surat Al-Kahfi yang telah dijelaskan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah untuk menangkal fitnah Dajjal. Yaitu dengan membaca dan menghafal beberapa ayat dari surat Al-Kahfi.Sebagian riwayat menerangkan sepuluh yang pertama, sebagian keterangan lagi sepuluh ayat terakhir.
Imam Muslim Rahimahullah meriwayatkan dari hadits al-Nawas bin Sam’an Rodhiyallahu 'Anhu yang cukup panjang, yang di dalam riwayat tersebut Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :“ Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapatinya (mendapati zaman Dajjal) hendaknya ia membacakan atasnya ayat-ayat permulaan surat al-Kahfi ”Dalam riwayat Muslim yang lain, dari Abu Darda’Rodhiyall ahu 'Anhu , bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :“ Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat dari permulaan surat al-Kahfi, maka ia dilindungi dari Dajjal”Yakni dari huru-haranya.Imam Muslim Rahimahullah berkata, Syu’bah berkata :“Dari bagian akhir surat al-Kahfi”Dan Imam Hammam Rahimahullah berkata :“Dari permulaan surat al-Kahfi”(Dinukil dari Shahih Imam Muslim, Kitab : Shalah al-Mufassirin, Bab : Fadhlu Surah al-Kahfi Wa Aayah al-Kursi : 6/92-93)
Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata : “Sebabnya, karena pada awal-awal surat al-Kahfi itu tedapat/ berisi keajaiban-keajaiban dan tanda-tanda kebesaran Allah. Maka orang yang merenungkan tidak akan tertipu dengan fitnah Dajjal. Demikian juga pada akhirnya, yaitu firman Allah :“ Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selainAku? . . . ” (QS. Al-Kahfi : 102) (Syarah Imam Muslim milik Imam Nawawi : 6/93)
PENUTUP :
Dari penjelasan-penj elasan di atas, sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk memiliki kemauan keras untukmembaca surat Al-Kahfi dan menghafalnya serta mengulang-ulang nya. Khususnya pada hari yang paling baik dan mulia, yaitu hari Jum’at.Wallahu Ta’ala a’lam.
Oleh : Badrul Tamam
Sumber : voa-islam.com

via Abi Wahyu

PANUTAN SALAFI DALAM BERAGAMA.....

Kalangan salafi berpegang teguh (berlandaskan) kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman shalafush shalih. Shalafush shalih adalah para sahabat, para tabiin dan para tabiut tabiin serta yang mengikuti mereka dengan baik serta para imam kaum muslimin seperti Imam Sufyan Ats-Tsauri, Imam Al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah, dan yang lainnya. Mereka merupakan generasi terbaik yang menjadi panutan kalangan salafi sepanjang masa, baik dari segi pemahaman dan pengalaman agama karena mereka telah mengambil Sunnah Nabi secara sempurna, telah berlomba-lomba untuk mendapatkan kesempurnaan dalam melaksanakan syariat Islam sepanjang usia mereka. 
Allah Ta’ala berfirman :
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Mujahirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha terhadap Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan besar.” (QS. At-Taubah: 100).
Ayat tersebut sebagai hujjah bahwa manhaj (jalan) para sahabat adalah benar. Orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan keridaan Allah Ta’ala dan disediakan bagi mereka surga. Mengikuti manhaj mereka adalah wajib atas setiap mukmin. Kalau mereka tidak mau mengikuti maka mereka akan mendapatkan hukuman dan tidak mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala. [1]
Allah Ta’ala berfirman :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah ...” (QS. Ali Imran: 110).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian umat-umat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqomahan para sahabat dalam setiap keadaan karena mereka tidak menyimpang dari syari’at yang terang benderang, sehingga Allah Ta’ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap kema’rufan (kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran. Hal tersebut menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka (sahabat) adalah hujjah atas orang-orang setelah mereka sampai Allah Ta’ala mewariskan bumi dan seisinya. [2]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi rekomendasi abadi terhadap mereka dalam sabdanya :
“Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para sahabat), kemudian orang-orang sesudahnya (tabiin) dan orang-orang sesudahnya lagi (tabiut tabiin). Lalu akan datang orang-orang yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.” (Hadits shahih. HR. Imam Bukhari dalam Shahihnya (2652) dan Imam Muslim dalam Shahihnya (2533), dari Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) radhiyallahu ‘anh).
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan tentang kebaikan dan keutamaan mereka yang merupakan sebaik-baik manusia. Sedangkan perkataan ‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang aqidahnya, manhajnya, akhlaknya, dakwahnya dan lain-lainnya.
Dalam hadits lainpun disebutkan tentang kewajiban kita mengikuti manhaj para sahabat, yaitu hadits yang terkenal dengan hadits Irbadh bin Sariyah, hadits ini terdapat pula dalam al-Arba’in an-Nawawiyyah (no. 28) :
Berkata al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anh, “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh orang yang masih hidup di antara kalian setelahku akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah sesat.’” (HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676). Hadits shahih).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan dan perselisihan pada umatnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar untuk selamat dunia dan akhirat, yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan Sunnah para sahabatnya. Sungguh mereka (para sahabat) telah mengambil kebenaran dari sumber yang jernih lagi murni, kemudian mereka tetapkan sebagai kaidah-kaidah Islam seluruhnya sehingga tidak memberi kesempatan bagi yang lain untuk membuat konsep dan pemikiran. Kemudian mereka sampaikan warisan yang mereka dapatkan dari cahaya kenabian secara suci lagi murni kepada para tabiin yang mengikuti mereka dengan baik. Sanad periwayatan mereka adalah dari Nabi dari Jibril dan dari Rabul Izzah, sanad yang tertinggi. Mereka sangat mengagunggkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jiwa mereka sangat takut mengedepankan hawa nafsu atau mengotori Sunnah dengan berbagai pemikiran sesat. Jika Rasulullah memanggil mereka untuk melaksanakan satu perkara, maka mereka dengan cepat menunaikan tanpa bertanya atau komentar.
Ketika Hasan bin Ali berada dalam suatu majelis yang sedang memperbincangkan para sahabat, beliau berkata, “Sesungguhnya, mereka adalah umat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit penyimpangannya. Mereka merupakan kaum yang dipilih Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya, maka berusahalah untuk menyerupai akhlak dan pemahaman mereka. Demi Tuhan Ka’bah, sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang benar dan lurus.” [3]
Maka manusia paling berbahagia adalah yang mengikuti tata cara mereka dalam beragama secara bersambung seperti yang dikatakan Ibrahim bin Muhammad As-Syafi’i, “Saya tidak pernah melihat orang yang shalatnya lebih bagus ketimbang As-Syafi’i, karena ia mengambil (tata cara shalat) dari Muslim bin Khalid, sementara Muslim mengambil dari Ibnu Juraji, sedang Ibnu Juraji mengambil dari Atha’, sedang Atha’ mengambil dari Ibnu Zubair dan Ibnu Zubair mengambil dari Abu Bakar dan Abu Bakar mengambil dari Nabi.” [4]
Imam Ahmad pernah berkata dalam khutbahnya, “Prinsip-prinsip As-Sunnah dalam keyakinan kami adalah berpegang teguh terhadap apa yang (disepakati) para sahabat Rasulullah.” [5]
Mereka generasi pertama umat ini yang benar-benar menjadikkan sunnah Nabinya sebagai pijakan. Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa perintah ataupun larangan begitu mereka taati. Bahkan apa yang dilakukan dan di jalani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa dijadikan teladan. Beliau benar-benar dijadikan panutan. Mereka begitu cinta dan taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang disabdakan beliau senantiasa dikedepankan, tanpa didahului oleh perkataan siapapun selain beliau, walau setinggi apapun kedudukan orang itu.
Dan mereka adalah orang-orang yang senantiasa berlapang dada menerima nasihat, teguh dalam melaksanakan kewajiban agama, dan ikhlas meninggalkan segala larangan yang ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian setelah generasi sahabat, lahirlah para tabiin yang meniti jalan mereka dan mengikuti jejak mereka, lalu diikuti pula para tabiut tabiin yang tidak kalah gigi dalam memperjuangkan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam guna menjaga kemurnian ajaran islam yang mulia.
----------
“Ya Allah. Semoga Engkau berkenan mengumpulkan kami bersama orang-orang terkasih di surgaMu dan memperkenankan kami memandang kemuliaan wajahMu. Amin.”

Sumber :
- Buku Putih Dakwah Salafiyah, karya Zaenal Abidin bin Syamsudin.
- Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

Semoga bermanfaat...
Fotenote:
[1] Bashaa-ir Dzawii Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis Salaf (hal. 43).
[2] Lihat Limaadza Ikhtartul Manhajas Salafi (hal. 86), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
[3] Jami’ Bayanil Ilmi Wafadluhi, karya Ibnu Abdil Bar, juz 2/195.
[4] Lihat Siyar A’lamin nubala’ Adz-Dzahabi, 8/418.
[5] Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyyah, 6/357.

Hadits-hadits yang berkaitan dengan hak suami...

Rasulullah saw bersabda, “Neraka diperlihatkan kpdku & aku melihat kebnykan penghuninya adh kaum wanita, mrk kufur.” Para shbt brtny, “Apkh disebabkan kufurnya mrk kpd Allah?” Rasul menjwb, “(Bukan), mrk kufur kpd suaminya & mrk kufur kpd kebaikan. Seandainya seorg suami dr xan berbuat kebaikan kpd istrinya selama sethn, kmdn istrinya mellihat sesuatu yg jelek pd diri suaminya, maka dia mengatakan, ‘Aku tdk pernah melihat kebaikan pd dirimu sekalipun.’” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Awanah, Malik, An-Nasa’i, & Al-Baihaqi dr Ibnu Abbas).
Rasulullah saw bersabda, “Allah tdk akan melihat kpd seorg wanita yg tdk bersyukur kpd suaminya & selalu menuntut ( tdk pernah merasa cukup).” (HR. An-Nasa’i, Al-Baihaqi & Al-Hakim).
Rasulullah saw bersabda, “Apabl seorg istri mengerjakan sholat yg 5 wkt, berpuasa di bln Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya) & taat kpd suaminya, niscaya ia akan masuk surga dr pintu mana saja yg dikehendakinya.” (HR. Ibnu Hibban dr Abu Hurairah).
Rasulullah saw bersabda, “Wanita2 xan yg menjadi penghuni surga adh yg penuh ksh syng, bnyk anak, & bnyk kembali (setia) kpd suaminya yg apabl suaminya marah, ia mendtginya & meletakkan tangannya diats tangan suaminya & berkata, ‘aku tdk dpt tidur nyenyak hingga engkau ridho.’” (HR. Ath-Thabrani, Mu’jamul Ausath, an-Nasa’i).
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya org yg selalu melakukan kefasikan adh penghuni neraka.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah, sipakah yg selalu berbuat fasik itu?” Beliau menjawab, “Para wanita.” Sorg shbt bertny, “Bukankah mrk itu ibu2 kita, saudari2 kita, & istri2 kita?” Beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi, mrk tdk bersyukur apabl diberi sesuatu. Mrk tdk bersabar apabl ditimpa musibah.” (HR. Ahmad dari Abdurrahman bin Syabl).
sumber: majalah Mawaddah

inilah JAWABAN-JAWABAN...

Bismillah
KENAPA AKU DIUJI ?
QURAN MENJAWAB :

Qs. Al-Ankabut : 2-3
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:'Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi ?Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta."

KENAPA AKU TAK MENDAPAT APA YG AKU INGINKAN ?
QUR’AN MENJAWAB :

Qs. Al-Baqarah : 216
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu.Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui."

KENAPA UJIAN SEBERAT INI ?
QURAN MENJAWAB :

Qs. Al-Baqarah : 286
"Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya."

KENAPA FRUSTASI ?
QURAN MENJAWAB :

Qs. Al-Imran : 139
"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang2 yg paling tinggi derajatnya, jika kamu orang2 yg beriman."

BAGAIMANA AKU HARUS MENGHADAPINYA ?
QURAN MENJAWAB :

Qs. Al-Baqarah : 45
"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan jalan sabar dan mengerjakan sholat; dan sesungguhnya sholat itu amatlah berat kecuali kepada orang-orang yang khusyuk"Tiada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah semata."

APA YANG AKU DAPAT ?
QURAN MENJAWAB :

Qs. At-Taubah : 111
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang2 mu'min, diri, harta mereka dengan memberikan jannah utk mereka."

KEPADA SIAPA AKU BERHARAP ?
QURAN MENJAWAB :

Qs. At-Taubah : 129
"Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain dari-Nya.Hanya kepada-Nya aku bertawakkal."

AKU TAK SANGGUP !!
QURAN MENJAWAB :

Qs. Yusuf : 12
"Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yg kafir."

Semoga Allah mudahkan kita istiqomah di jalan-Nya.Aamiin
#Alhamdulillah I Am Muslim
*status fb Budi Satria via Ara Binti Arfian Burhan

Tuesday, May 21, 2013

Wanita PENGHUNI Neraka (bag 03)

Saudariku Muslimah …

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah menuntunkan satu amalan yang dapat menyelamatkan kaum wanita dari adzab neraka. Ketika beliau selesai khutbah hari raya yang berisikan perintah untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan anjuran untuk mentaati-Nya. Beliau pun bangkit mendatangi kaum wanita, beliau menasehati mereka dan mengingatkan mereka tentang akhirat kemudian beliau bersabda : “Bershadaqahlah kalian! Karena kebanyakan kalian adalah kayu bakarnya Jahanam!” Maka berdirilah seorang wanita yang duduk di antara wanita-wanita lainnya yang berubah kehitaman kedua pipinya, iapun bertanya : “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “Karena kalian banyak mengeluh dan kalian kufur terhadap suami!” (HR. Bukhari)

Bershadaqahlah! Karena shadaqah adalah satu jalan untuk menyelamatkan kalian dari adzab neraka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari adzabnya. Amin.

Wallahu A’lam bish Shawwab.

...Alhamdulillaah selesai...

(Dikutip dari tulisan Muhammad Faizal Ibnu Jamil, Judul asli Wanita Penghuni Neraka, MUSLIMAH/Edisi XXII/1418/1997/Kajian Kali Ini. Url sumber http://www.geocities.com/dmgto/muslimah201/nar.htm)

Wanita PENGHUNI Neraka (bag 02)

Bentuk pertama ialah seorang istri yang biasanya berucap dan bersikap baik kepada suaminya serta segera memenuhi panggilannya, tiba-tiba berubah sikap dengan berbicara kasar dan tidak segera memenuhi panggilan suaminya. Atau ia memenuhinya tetapi dengan wajah yang menunjukkan rasa tidak senang atau lambat mendatangi suaminya. Kedurhakaan seperti ini sering dilakukan seorang istri ketika ia lupa atau memang sengaja melupakan ancaman-ancaman Allah terhadap sikap ini.

Termasuk bentuk kedurhakaan ini ialah apabila seorang istri membicarakan perbuatan suami yang tidak ia sukai kepada teman-teman atau keluarganya tanpa sebab yang diperbolehkan syar’i. Atau ia menuduh suaminya dengan tuduhan-tuduhan dengan maksud untuk menjelekkannya dan merusak kehormatannya sehingga nama suaminya jelek di mata orang lain. Bentuk serupa adalah apabila seorang istri meminta di thalaq atau di khulu’ (dicerai) tanpa sebab syar’i. Atau ia mengaku-aku telah dianiaya atau didhalimi suaminya atau yang semisal dengan itu.

Permintaan cerai biasanya diawali dengan pertengkaran antara suami dan istri karena ketidakpuasan sang istri terhadap kebaikan dan usaha sang suami. Atau yang lebih menyedihkan lagi bila hal itu dilakukannya karena suaminya berusaha mengamalkan syari’at-syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah-sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam. Sungguh jelek apa yang dilakukan istri seperti ini terhadap suaminya. Ingatlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :“Wanita mana saja yang meminta cerai pada suaminya tanpa sebab (yang syar’i, pent.) maka haram baginya wangi Surga.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi serta selain keduanya. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 85)

Bentuk kedurhakaan kedua yang dilakukan para istri terjadi dalam hal perbuatan yaitu ketika seorang istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suaminya atau bermuka masam ketika melayaninya atau menghindari suami ketika hendak disentuh dan dicium atau menutup pintu ketika suami hendak mendatanginya dan yang semisal dengan itu.

Termasuk dari bentuk ini ialah apabila seorang istri keluar rumah tanpa izin suaminya walaupun hanya untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Yang demikian seakan-akan seorang istri lari dari rumah suaminya tanpa sebab syar’i. Demikian pula jika sang istri enggan untuk bersafar (melakukan perjalanan) bersama suaminya, mengkhianati suami dan hartanya, membuka dan menampakkan apa yang seharusnya ditutupi dari anggota tubuhnya, berjalan di tempat umum dan pasar-pasar tanpa mahram, bersenda gurau atau berbicara lemah-lembut penuh mesra kepada lelaki yang bukan mahramnya dan yang semisal dengan itu.

Bentuk lain adalah apabila seorang istri tidak mau berdandan atau mempercantik diri untuk suaminya padahal suaminya menginginkan hal itu, melakukan puasa sunnah tanpa izin suaminya, meninggalkan hak-hak Allah seperti shalat, mandi janabat, atau puasa Ramadlan.

Maka setiap istri yang melakukan perbuatan-perbuatan seperti tersebut adalah istri yang durhaka terhadap suami dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jika kedua bentuk kedurhakaan ini dilakukan sekaligus oleh seorang istri maka ia dikatakan sebagai istri yang durhaka dengan ucapan dan perbuatannya. (Dinukil dari kitab An Nusyuz karya Dr. Shaleh bin Ghanim As Sadlan halaman 23-25 dengan beberapa tambahan)

Sungguh merugi wanita yang melakukan kedurhakaan ini. Mereka lebih memilih jalan ke neraka daripada jalan ke Surga karena memang biasanya wanita yang melakukan kedurhakaan-kedurhakaan ini tergoda oleh angan-angan dan kesenangan dunia yang menipu.

Ketahuilah wahai saudariku Muslimah, jalan menuju Surga tidaklah dihiasi dengan bunga-bunga nan indah, melainkan dipenuhi dengan rintangan-rintangan yang berat untuk dilalui oleh manusia kecuali orang-orang yang diberi ketegaran iman oleh Allah. Tetapi ingatlah di ujung jalan ini ada Surga yang Allah sediakan untuk hamba-hamba-Nya yang sabar menempuhnya.

Ketahuilah pula bahwa jalan menuju neraka memang indah, penuh dengan syahwat dan kesenangan dunia yang setiap manusia tertarik untuk menjalaninya. Tetapi ingat dan sadarlah bahwa neraka menanti orang-orang yang menjalani jalan ini dan tidak mau berpaling darinya semasa ia hidup di dunia.

Hanya wanita yang bijaksanalah yang mau bertaubat kepada Allah dan meminta maaf kepada suaminya dari kedurhakaan-kedurhakaan yang pernah ia lakukan. Ia akan kembali berusaha mencintai suaminya dan sabar dalam mentaati perintahnya. Ia mengerti nasib di akhirat dan bukan kesengsaraan di dunia yang ia takuti dan tangisi.

3. Tabarruj

Yang dimaksud dengan tabarruj ialah seorang wanita yang menampakkan perhiasannya dan keindahan tubuhnya serta apa-apa yang seharusnya wajib untuk ditutupi dari hal-hal yang dapat menarik syahwat lelaki. (Jilbab Al Mar’atil Muslimah halaman 120)

Hal ini kita dapati pada sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tentang wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang dikarenakan minimnya pakaian mereka dan tipisnya bahan kain yang dipakainya. Yang demikian ini sesuai dengan komentar Ibnul ‘Abdil Barr rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tersebut.Ibnul ‘Abdil Barr menyatakan : “Wanita-wanita yang dimaksudkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah yang memakai pakaian yang tipis yang membentuk tubuhnya dan tidak menutupinya, maka mereka adalah wanita-wanita yang berpakaian pada dhahirnya dan telanjang pada hakikatnya … .” (Dinukil oleh Suyuthi di dalam Tanwirul Hawalik 3/103 )

Mereka adalah wanita-wanita yang hobi menampakkan perhiasan mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang hal ini dalam firman-Nya : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan-perhiasan mereka.” (An Nur : 31)

Imam Adz Dzahabi rahimahullah menyatakan di dalam kitab Al Kabair halaman 131 : “Termasuk dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka dilaknat ialah menampakkan hiasan emas dan permata yang ada di dalam niqab (tutup muka/kerudung) mereka, memakai minyak wangi dengan misik dan yang semisalnya jika mereka keluar rumah … .”

Dengan perbuatan seperti ini berarti mereka secara tidak langsung menyeret kaum pria ke dalam neraka, karena pada diri kaum wanita terdapat daya tarik syahwat yang sangat kuat yang dapat menggoyahkan keimanan yang kokoh sekalipun. Terlebih bagi iman yang lemah yang tidak dibentengi dengan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri menyatakan di dalam hadits yang shahih bahwa fitnah yang paling besar yang paling ditakutkan atas kaum pria adalah fitnahnya wanita.

Sejarah sudah berbicara bahwa betapa banyak tokoh-tokoh legendaris dunia yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hancur karirnya hanya disebabkan bujuk rayu wanita.Dan berapa banyak persaudaraan di antara kaum Mukminin terputus hanya dikarenakan wanita. Berapa banyak seorang anak tega dan menelantarkan ibunya demi mencari cinta seorang wanita, dan masih banyak lagi kasus lainnya yang dapat membuktikan bahwa wanita model mereka ini memang pantas untuk tidak mendapatkan wanginya Surga.

Hanya dengan ucapan dan rayuan seorang wanita mampu menjerumuskan kaum pria ke dalam lembah dosa dan hina terlebih lagi jika mereka bersolek dan menampakkan di hadapan kaum pria. Tidak mengherankan lagi jika di sana-sini terjadi pelecehan terhadap kaum wanita, karena yang demikian adalah hasil perbuatan mereka sendiri.

Wahai saudariku Muslimah …

Hindarilah tabarruj dan berhiaslah dengan pakaian yang Islamy yang menyelamatkan kalian dari dosa di dunia ini dan adzab di akhirat kelak.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj dengan tabarrujnya orang-orang jahiliyyah pertama dahulu.” (Al Ahzab : 33)Masih banyak sebab-sebab lainnya yang mengantarkan wanita menjadi mayoritas penduduk neraka. Tetapi kami hanya mencukupkan tiga sebab ini saja karena memang tiga model inilah yang sering kita dapati di dalam kehidupan masyarakat negeri kita ini.

...in syaa Allaah bersambung...

Wanita PENGHUNI Neraka (bag 01)

Saudariku Muslimah …

Suatu hal yang pasti bahwa surga dan neraka adalah dua makhluk yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Surga diciptakan-Nya sebagai tempat tinggal yang abadi bagi kaum Mukminin dan neraka sebagai tempat tinggal bagi kaum musyrikin dan pelaku dosa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang darinya.

Setiap Muslimin yang mengerti keadaan Surga dan neraka tentunya sangat berharap untuk dapat menjadi penghuni Surga dan terhindar jauh dari neraka, inilah fitrah.

Pada Kajian kali ini, kami akan membahas tentang neraka dan penduduknya, yang mana mayoritas penduduknya adalah wanita dikarenakan sebab-sebab yang akan dibahas nanti.

Sebelum kita mengenal wanita-wanita penghuni neraka alangkah baiknya jika kita menoleh kepada peringatan-peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an tentang neraka dan adzab yang tersedia di dalamnya dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim : 6)

Imam Ath Thabari rahimahullah menyatakan di dalam tafsirnya : “Ajarkanlah kepada keluargamu amalan ketaatan yang dapat menjaga diri mereka dari neraka.”

Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu juga mengomentari ayat ini : “Beramallah kalian dengan ketaatan kepada Allah, takutlah kalian untuk bermaksiat kepada-Nya dan perintahkan keluarga kalian untuk berdzikir, niscaya Allah menyelamatkan kalian dari neraka.”

Dan masih banyak tafsir para shahabat dan ulama lainnya yang menganjurkan kita untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka dengan mengerjakan amalan shalih dan menjauhi maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di dalam surat lainnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 24)

Begitu pula dengan ayat-ayat lainnya yang juga menjelaskan keadaan neraka dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.

Kedahsyatan dan kengerian neraka juga dinyatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu bahwasanya beliau bersabda : “Api kalian yang dinyalakan oleh anak cucu Adam ini hanyalah satu bagian dari 70 bagian neraka Jahanam.” (Shahihul Jami’ 6618)

Jikalau api dunia saja dapat menghanguskan tubuh kita, bagaimana dengan api neraka yang panasnya 69 kali lipat dibanding panas api dunia? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari neraka. Amin.

Wanita Penghuni Neraka

Tentang hal ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

“Aku melihat ke dalam Surga maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah fuqara (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas dan Imran serta selain keduanya)

Hadits ini menjelaskan kepada kita apa yang disaksikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tentang penduduk Surga yang mayoritasnya adalah fuqara (para fakir miskin) dan neraka yang mayoritas penduduknya adalah wanita. Tetapi hadits ini tidak menjelaskan sebab-sebab yang mengantarkan mereka ke dalam neraka dan menjadi mayoritas penduduknya, namun disebutkan dalam hadits lainnya.

Di dalam kisah gerhana matahari yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya melakukan shalat gerhana padanya dengan shalat yang panjang , beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam melihat Surga dan neraka.Ketika beliau melihat neraka beliau bersabda kepada para shahabatnya radliyallahu 'anhum : “ … dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Shahabat pun bertanya : “Mengapa (demikian) wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam?” Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab : “Karena kekufuran mereka.” Kemudian ditanya lagi : “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab : “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata : ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan tentang wanita penduduk neraka, beliau bersabda :“ … dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang, melenggak-lenggokkan kepala mereka karena sombong dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan suaminya, kepala mereka seakan-akan seperti punuk onta. Mereka tidak masuk Surga dan tidak mendapatkan wanginya Surga padahal wanginya bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)

Dari Imran bin Husain dia berkata, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Sesungguhnya penduduk surga yang paling sedikit adalah wanita.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Imam Qurthubi rahimahullah mengomentari hadits di atas dengan pernyataannya : “Penyebab sedikitnya kaum wanita yang masuk Surga adalah hawa nafsu yang mendominasi pada diri mereka, kecondongan mereka kepada kesenangan-kesenangan dunia, dan berpaling dari akhirat karena kurangnya akal mereka dan mudahnya mereka untuk tertipu dengan kesenangan-kesenangan dunia yang menyebabkan mereka lemah untuk beramal. Kemudian mereka juga sebab yang paling kuat untuk memalingkan kaum pria dari akhirat dikarenakan adanya hawa nafsu dalam diri mereka, kebanyakan dari mereka memalingkan diri-diri mereka dan selain mereka dari akhirat, cepat tertipu jika diajak kepada penyelewengan terhadap agama dan sulit menerima jika diajak kepada akhirat.” (Jahannam Ahwaluha wa Ahluha halaman 29-30 dan At Tadzkirah halaman 369)

Saudariku Muslimah …

Jika kita melihat keterangan dan hadits di atas dengan seksama, niscaya kita akan dapati beberapa sebab yang menjerumuskan kaum wanita ke dalam neraka bahkan menjadi mayoritas penduduknya dan yang menyebabkan mereka menjadi golongan minoritas dari penghuni Surga.

Saudariku Muslimah …

Hindarilah sebab-sebab ini semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari neraka. Amin.

1. Kufur Terhadap Suami dan Kebaikan-Kebaikannya

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan hal ini pada sabda beliau di atas tadi. Kekufuran model ini terlalu banyak kita dapati di tengah keluarga kaum Muslimin, yakni seorang istri yagn mengingkari kebaikan-kebaikan suaminya selama sekian waktu yang panjang hanya dengan sikap suami yang tidak cocok dengan kehendak sang istri sebagaimana kata pepatah, panas setahun dihapus oleh hujan sehari. Padahal yang harus dilakukan oleh seorang istri ialah bersyukur terhadap apa yang diberikan suaminya, janganlah ia mengkufuri kebaikan-kebaikan sang suami karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat istri model begini sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.” (HR. Nasa’i di dalam Al Kubra dari Abdullah bin ‘Amr. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 76)

Hadits di atas adalah peringatan keras bagi para wanita Mukminah yang menginginkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Surga-Nya. Maka tidak sepantasnya bagi wanita yang mengharapkan akhirat untuk mengkufuri kebaikan-kebaikan suaminya dan nikmat-nikmat yang diberikannya atau meminta dan banyak mengadukan hal-hal sepele yang tidak pantas untuk dibesar-besarkan.

Jika demikian keadaannya maka sungguh sangat cocok sekali jika wanita yang kufur terhadap suaminya serta kebaikan-kebaikannya dikatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai mayoritas kaum yang masuk ke dalam neraka walaupun mereka tidak kekal di dalamnya.

Cukup kiranya istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabiyah sebagai suri tauladan bagi istri-istri kaum Mukminin dalam mensyukuri kebaikan-kebaikan yang diberikan suaminya kepadanya.

2. Durhaka Terhadap Suami

Kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya pada umumnya berupa tiga bentuk kedurhakaan yang sering kita jumpai pada kehidupan masyarakat kaum Muslimin. Tiga bentuk kedurhakaan itu adalah :
1. Durhaka dengan ucapan.
2. Durhaka dengan perbuatan.
3. Durhaka dengan ucapan dan perbuatan.

...in syaa Allaah bersambung...

Aku Takkan Lupakan Ilmu

Saudaraku…

Kita perlu mengingat kembali sebuah hadits yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menggambarkan bagaimana Allah akan mencabut ilmu dari kehidupan dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan merenggutnya dari para manusia, namun ilmu itu dicabut dengan diwafatkannya para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan lagi seorang ‘alim, maka manusia akan menjadikan para pembesar mereka dari kalangan orang-orang bodoh yang ditanya (tentang agama) lantas orang-orang bodoh itu berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Al-Bukhari: 1: 174-175, Muslim no: 2673, At-Tirmidzi 2652)

Dalam hadits yang lain, beliau bersabda,

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan semakin merajalela, zina nampak di mana-mana, khamr diminum, kaum pria menjadi sedikit dan kaum wanita menjadi lebih banyak….” (Shahih dengan beberapa jalannya, Al-Bukhari juga meriwayatkannya dalam Sahih: kitab “nikah” dari hadits Hafsh bin Umar dan kitab “ilmu”, demikian pula halnya Muslim dalam Shahih-nya: 4: 256, dan selain mereka) 

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Sungguh keberadaan agama Islam dan keberlangsungan dunia ini adalah dengan keberadaan ilmu agama, dengan hilangnya ilmu akan rusaklah dunia dan agama. Maka kokohnya agama dan dunia hanyalah dengan kekokohan ilmu.” (Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1: 500)

Al-Auza’i berkata bahwa Ibnu Syihab Az-Zuhri menyatakan, “Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan. Sementara ilmu diangkat dengan cepat. Kekokohan ilmu adalah keteguhan bagi agama dan dunia. Hilangnya ilmu adalah kehancuran bagi itu semua.” (Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhud 817, dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam Al-Jami’ 1018)

Saudaraku…

Yakinlah bahwa di antara kunci kebahagiaan dunia dan akherat adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Itulah yang akan menumbuhkan khasyyah dan sikap takut kepada Allah, merasa diawasi sehingga waspada terhadap semua ancaman Allah. Semua itu tidaklah didapatkan kecuali dengan ilmu syar’i. Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya hanyalah para ulama yang memiliki khasyyah kepada Allah.” (QS. Fathir: 28)

Ath-Thabari berkata, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, menjaga diri dari adzab dengan menjalankan ketaatan kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu. Mereka mengetahui bahwa Allah Maha Mampu melakukan segala sesuatu, maka mereka menghindar dari kemaksiatan yang akan menyebabkan murka dan adzab Allah…” (Lihat Tafsir Ath-Thabari QS Fathir; ayat: 28)

‘Abdullah bin Mas’ud dan Masruq berkata, “Cukuplah ilmu membuat seseorang takut kepada Allah, dan sebaliknya kebodohan menyebabkan seseorang lalai dari mengenal Allah.”

Al-Baghawi menyebutkan bahwa seseorang memanggil dan berkata kepada Sya’bi, “Wahai ‘aalim berfatwalah.” Sya’bi menjawab, “Sesungguhnya seorang ‘alim adalah yang memiliki khasyyah (rasa takut) kepada Allah.” (Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhud hal: 15, dan Ahmad dalam Az-Zuhud hal: 858 dan Lihat Tafsir Al-Baghawi QS Fathir; ayat: 28)

Syaikh As-Sa’di berkata dalam tafsir dari Surat Al-Faaathir ayat 28, “Ayat ini adalah dalil keutamaan ilmu, karena ilmu akan menumbuhkan sikap khasyyah (takut) kepada Allah. Orang yang takut kepada Allah adalah orang yang akan mendapatkan kemuliaan Allah sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Itu hanya bagi orang-orang yang memiliki khasyyah kepadaNya.” (Lihat Tafsir As-Sa’di QS Fathir, ayat: 28)

Dengan ilmu kita dapat menumbuhkan sikap khasyyah kepada Allah dan itulah muraqabah yang akan membimbing langkah-langkah kita menuju ridha Allah.

Sufyan berkata, “Barangsiapa yang berharap (kebahagiaan) dunia dan akherat, hendaklah ia menuntut ilmu syar’i.”

An-Nadhr bin Syumail berkata, “Barangsiapa yang ingin dimuliakan di dunia dan akherat, hendaklah ia menuntut ilmu syar’i. Cukuplah menjadi kebahagiaan bagi dirinya jika ia dipercaya dalam perkara agama Allah, serta menjadi perantara antara seorang hamba dengan Allah.” (Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1: 503-504)

Mu’adz bin Jabal berkata, “Pelajarilah ilmu syar’i karena mempelajarinya di jalan Allah adalah khasyyah, memperdalamnya adalah ibadah, mengulang-ulangnya adalah tasbih (memuji Allah), membahas (permasalahan-permasalahannya) adalah jihad, mengajarkannya kepada yang belum mengetahuinya adalah shadaqah, dengan ilmulah Allah diketahui dan disembah, dengannya Allah diesakan dalam tauhid, dan dengannya pula diketahui yang halal dan yang haram…” (Hilayatul Auliya karya Abu Nu’aim 1: 239, Al-Ajmi’ oleh Ibnu ‘Abdil Bar 1: 65) 

Seorang penyair berkata:

Ilmu adalah harta dan tabungan yang tak akan habis…
Sebaik-baik teman yang bersahabat adalah ilmu…
Terkadang seseorang mengumpulkan harta kemudian kehilangannya…
Tidak seberapa namun meninggalkan kehinaan dan perseteruan…
Adapun penuntut ilmu, ia selalu membuat iri (ghibthah) banyak orang…
Namun dirinya tidak pernah merasa takut akan kehilangannya…
Wahai para penuntut ilmu, betapa berharga hartamu itu…
yang tak dapat dibandingkan dengan emas ataupun mutiara…
(Diterjemahkan dari Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1: 507)

Karenanya, Luqman berwasiat kepada putranya, “Wahai anakku, duduklah bersama para ulama, dekatilah mereka dengan kedua lututmu. Sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati yang mati dengan pelita “hikmah” sebagaimana Allah menghidupkan bumi yang gersang dengan air hujan.” (Riwayat Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ 2: 1002). Hikmah yang beliau maksud adalah yang Allah sebutkan dalam firmanNya (QS Al-Baqarah: 269) yang artinya, “Allah menganugerahkan “hikmah” kepada yang Allah kehendaki, barangsiapa telah diberikan hikmah maka ia telah diberikan banyak kebaikan…” Qutaibah dan Jumhur ulama berkata “hikmah adalah mengetahui yang haq dengan sebenarnya serta mengamalkannya. Itulah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.” (Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1: 227)

Imam Ahmad berkata, “Manusia lebih membutuhkan ilmu dibandingkan makan dan minum, karena makanan dan minuman dibutuhkan manusia satu atau dua kali dalam satu hari. Akan tetapi, ilmu senantiasa dibutuhkan seorang manusia setiap saat (selama nafasnya berhembus)”…(Thabaqat Al-Hanabilah; 1: 146)

Saudaraku, Belum Terlambat dan Tidak Ada Kata Malu

‘Aisyah berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Mereka tidak terhalangi oleh rasa malu untuk mempelajari semua perkara agama ini.”

Mujahid juga berkata, “Seorang pemalu atau sombong tidaklah dapat menuntut ilmu. Yang satu terhalangi dari menuntut ilmu oleh rasa malunya. Sementara yang satu lagi terhalangi oleh kesombongannya.” (Al-Bukhari menyebutkannya secar mu’allaq dalam Shahih-nya 1: 229)

Mari bersama-sama kita membangkitkan semangat menuntut ilmu syar’i agar dengannya kita mendapatkan pelita nan bercahaya, menerangi setiap amalan hidup kita, membimbing setiap pola pikir dan langkah kita, memperbaiki setiap niat hati kita, membuat kita senantiasa takut karena merasa diawasi oleh Allah. Jika ilmu itu telah sampai maka jangan kita melupakannya dan mari kita berlomba untuk mengamalkannya.

Ali bin Abi Thalib berkata, “Ilmu membisikkan pemiliknya untuk diamalkan. Jika ia menjawab panggilan bisikan itu, maka ilmu akan tetap ada. Namun jika ia tidak menjawab panggilan itu, maka ilmu akan pergi.” (Iqtidhaul ‘Ilmil amal karya Al-Khathib: hal 41)

Semoga Allah melimpahkan taufiqNya kepada kita untuk ikhlas dalam menuntut ilmu, beramal dan berdakwah di jalan-Nya.

Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hambaMu yang mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia serta akherat dengan ilmu, aamiin…

***

Penulis: Ustadz Rizal Yuliar Putrananda, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

Pernyataan Para Imam untuk Mengikuti As-Sunnah dan Meninggalkan Pendapat Mereka yang Bertentangan dengan As-Sunnah

•Al-Imam Abu Hanifah Rahimahullaahu

-“Bila suatu hadits telah shahih maka itu lah pendapatku.” (diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abidin dalam Al-Hasyiyah (I/63) dan Rasmul Mufti (I/4 dari kitab Majmu’ah Rasa’il Ibnu ‘Abidin)).

-“Tidak halal bagi seorang pun untuk mengambil ucapan kami selama dia belum mengetahui dari mana kami mengambil ucapan tersebut.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam Al-Intiqa’ fi Fadha’il Ats-Tsalatsah Al-Aimah Al-Fuqaha’ (hal. 145), Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/309), Ibnu ‘Abidin dalam hasyiyah beliau terhadap kitab Al-Bahr ar-Ra’iq (6/293) dan dalam Rasmul Mufti (hal. 29 dan 32), Asy-Sya’rany dalam Al-Mizan (1/55)).

-“Jika aku mengatakan suatu ucapan yang bertentangan dengan Kitabullah Ta’ala dan kabar dari Ar-Rasul Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam maka tinggalkan ucapanku tersebut.” (diriwayatkan oleh Al-Fulany dalam Al-Iqadh (hal. 50)).

•Al-Imam Malik bin Anas Rahimahullaahu

-“Aku adalah seorang manusia biasa, terkadang salah dan terkadang benar, maka perhatikanlah pendapatku. Setiap yang sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah maka ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah !” (diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Bar dalam Al-Jami’ (2/32), Ibnu Hazm dalam Ushul Ahkam (6/149), demikian pula Al-Fulany (hal. 72)).

-“Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam kecuali bisa diambil atau ditinggalkan ucapannya, kecuali Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam.” (dishahihkan oleh Ibnu Abdil Hady dalam Irsyadus Salik (227/1), Ibnu Abdil Bar dalam Al-Jami’ (2/91) dan Ibnu Hazm dalam Ushul Ahkam (6/145 dan 179), Taqiyuddin As-Subky dalam Al-Fatawa (1/148)).

•Al-Imam As-Syafi’i Rahimahullaahu

-“Tidak ada seorang pun melainkan pasti luput darinya satu Sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka seringkali saya katakan suatu ucapan atau merumuskan suatu kaidah tetapi hal itu bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, maka ucapan yang disabdakan Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam itulah pendapatku.” (diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanad yang muttashil (bersambung) sampai kepada Imam Syafi’i. Sebagaimana dalam kitab Tarikh Dimasyqi karya Ibnu ‘Asakir (15/1/3), I’lamul Muwaqi’in (2/363-364), dan Al-Iqadh (hal. 200)).

-“Kaum muslimin bersepakat bahwa siapa saja yang jelas baginya Sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam maka tidak halal meninggalkannya hanya karena ucapan seseorang.” (diriwayatkan oleh Ibnu Qayyim (2/361) dan Al-Fulany (hal. 68)).

-“Bila kalian mendapati dalam kitabku suatu hal yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan Sunnah Rasulullah dan tinggalkanlah ucapanku! (dalam riwayat lain disebutkan: “Maka ikutilah ia (Sunnah Rasulullah) dan jangan sekali-kali kalian berpaling kepada ucapan orang lain!”). (diriwayatkan oleh Al-Harawy dalam Dzammul Kalam (3/47/1), Al-Khatib dalam Al-Ihtijaj bis Syafi’i (218), Ibnu ‘Asakir (1519/1), An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (1/63), Ibnu Qayyim (2/361) dan Al-Fulany (hal. 100). Sedangkan riwayat lainnya dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (9/107) dan Ibnu Hibban dalam Shahih beliau (3/284- Al-Ahsan) dengan sana shahih).

-“Bila telah shahih suatu hadits maka itulah madzhabku.” (diriwayatkan oleh An-Nawawi dalam sumber yang sama, Asy-Sya’rani (1/57) beliau menisbatkannya kepada Al-Hakim dan Al-Baihaqi, demikian pula Al-Fulany (hal. 107)).

-“Engkau (ucapan ini ditujukan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah) lebih mengetahui hadits dan rawi-rawinya dibanding aku, maka bila ada hadits yang shahih beritahulah aku tentang keberadaannya, di Kufah atau Bashrah atau di Syam hingga aku akan berpendapat dengan hadits itu bilamana hadits tersebut shahih.”

-“Setiap permasalahan diman telah shahih padanya hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menurut ulama pakar hadits namun bertentangan dengan ucapanku maka aku rujuk darinya di masa hidupku atau sepeninggalku nanti.” (diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dal Al-Hilay (9/107), Al-Harwy (1/47), Ibnu Qayyim dalam kitab I’lamul Muwaqi’in (2/363), dan Al-Fulany (hal. 140)).

-“Jikalau kalian melihatku mengungkapkan suatu pendapat sementara telah shahih hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bertentangan dengannya maka ketahuilah bahwa pendapatku tidak berguna.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Adab Asy-Syafi’i (hal. 93), Abul Qasim As-Samarqandy dalam Al-Amaly sebagaimana tercantum dlam Al-Muntaqa’ milik Abu Hafsh Al-Muaddib (1/234), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (9/107) serta Ibnu ‘Asakir (15/10/1) dengan sanad yang shahih).

-“Setiap apa yang aku ucapkan sementara ada hadits shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bertentangan dengan ucapanku maka hadits Nabi tersebut lebih layak diikuti dan janganlah kalian taklid kepadaku.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim (hal.93), Abu Nu’aim, dan Ibnu ‘Asakir dengan sanad yang shahih).

-“Setiap hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim (hal. 93-94)).

•Al-Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullaahu

-“Janganlah engkau taklid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, atau Ats-Tsaury. Akan tetapi ambillah (agama itu) dari sumber dimana mereka mengambil.” (diriwayatkan oleh Al-Fulany (113), dan Ibnu Qayyim dalam Al-I’lam (2/302)).

-“Pendapat Al-Auza’i, begitu pula Malik, dan Abu Hanifah seluruhnya hanya pendapat dan sama nilainya di sisiku. Sedang hujjah itu terdapat pada atsar.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abdil bar dalam Al-Jami’ (2/199)).

-“Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam maka dia berada di tepi jurang kehancuran.” (diriwayatkan oleh Ibnul Jauzy (hal. 182)).

----------
(sumber: Tuntunan Shalat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Terbitan Ash-Shaf Media. Bagian Mukadimah Cetakan Pertama)

MUNGKINKAH MEMBELA NABI SHALLALLAAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TAPI TIDAK MENAATI BELIAU SHALLALLAAHU ‘ALAHI WA SALLAM? (bag 02)

Juga dalam firman-Nya,

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzaab[33]: 36).

Kesimpulannya, tidak ada orang yang mengagungkan beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kecuali hanya orang-orang yang berpegang teguh dengan petunjuk beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berjalan di atasnya serta mengikuti petunjuk beliau.[1].

Para sahabat telah memperlihatkan praktek nyata yang sangat istimewa dan tindakan yang sangat jujur dalam membela Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dengan mengorbankan jiwa, harta dan anak untuk menebus beliau dalam kondisi senang atau tidak, seperti yang disebutkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala dalam firman-Nya,

Bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan kridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-orang yang benar.”(QS. Al-Hasyr[59]: 8).

Barangsiapa yang ingin mencintai dan membela Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, maka hendaknya ia mengagungkan perkataan dan sunnah beliau melebihi pengagungannya terhadap perkataan selain beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Manakala pengagungan kepada Nabi telah meresap di hati, terpahat di dalamnya dalam kondisi apapun, maka pengaruh positifnya akan tampak nyata pada anggota badannya.

Saat itulah, akan terlihat lisannya terus memuji dan menyanjung beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam serta menyebut-nyebut sisi kebaikan beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Sementara organ tubuh lainnya juga terlihat mengikuti syariat yang dibawa beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam serta menjalankan apa yang menjadi hak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam yang berwujud pengagungan dan penghormatan. Dan bukti pengagungan yang benar dan tulus ialah mengagungkan petunjuk yang beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bawa berupa syariat yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah, yaitu dengan mengikuti dan berpegang teguh dengannya secara lahir dan batin serta menetapkannya sebagai hakim dalam seluruh aspek kehidupan dan segala urusan. Tidak mungkin keimanan akan sempurna tanpa itu.
Wallahu a’lam.

*Tulisan ini dikutip dari makalah Penulis berjudul Taqwiimul Mafaahi al-Khaati’ah ‘Indal Ghulaati wal Jufaati fid Difaa’i ‘anin Nabiyyi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, dipresentasikan dalam muktamar bertema Nabiyyir Rahmati Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam yang diadakan oleh Jum’iyyah al-Ilmiyyah as-Sa’uudiyyah lis Sunnati wa ‘Uluumiha di kota Riyadh Saudi Arabia.

...Alhamdulillaah selesai...

(Sumber: Majalah As-Sunnah EDISI 08/THN.XIV/MUHARRAM 1432H/DESEMBER 2010M, hlm. 36-38)
----------

[1]  Huquuqun Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ‘ala Ummatihi, 2/475

MUNGKINKAH MEMBELA NABI SHALLALLAAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TAPI TIDAK MENAATI BELIAU SHALLALLAAHU ‘ALAHI WA SALLAM? (bag 01)

Oleh: Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, MA
----------

Kemarahan yang meledak dari umat Islam di bumi belahan timur dan barat kepada orang-orang yang melecehkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, menyisakan pertanyaan, “Sejauh manakah kita taat kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam?” Umat Islam telah berpecah belah menjadi sekian kelompok dan golongan. Setiap golongan mersa mantap dengan apa yang diyakininya. Padahal Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam telah memperingatkan bahaya perpecahan. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, dari Auf bin Malik bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

"Demi Dzat yang aku berada di tangan-Nya. Umatku akan benar-benar terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Satu golongan di surga dan tujuh puluh dua golongan di neraka.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka (yang berada di surga)?” Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “al-jama’ah.” (HR. Abu Dawud no. 1299, Ibnu Majah no. 3992, dishahihkan al-Albani).

Persatuan umat yang terbentuk di hadapan musuh ketika membela kehormatan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, mestinya dijadikan momen utnuk mengajak kaum Muslimin seluruh dunia agar meninggalkan perpecahan dan silang pendapat untuk selanjutnya bersatu di bawah naungan Kitabullah dan Sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dengan pemahaman Salaful Ummah, serta bergabung bersama para Ulama pemegang panji tauhid dan pembela kehormatan dan sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.

Ketaatan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam merupakan konsekuensi dan tuntutan dari syahadat (persaksian) kita bahwa Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam adalah utusan Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab persaksian bahwa Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam benar-benar utusan Allah ‘Azza wa Jalla maknanya adalah menaati perintahnya, membenarkan berita yang beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sampaikan, menjauhi larangan dan peringatannya Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam serta tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat beliau.

Demikianlah bentuk pengagungan yang sempurna kepada beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam serta penghormatan yang tertinggi. Pengagungan model apakah yang bisa diberikan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa Sallam oleh orang yang meragukan atau enggan taat kepada beliau atau mengadakan bid’ah dalam agama beliau dan beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara yang tidak sesuai dengan cara beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ?! Karena itu, begitu keras pengingkaran Allah kepada orang-orang yang melakukan ibadah dengan cara-cara yang tidak pernah disyariatkan. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. As-Syuura[42]: 21)

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari no. 2550 dan Muslim no. 4590)

Bukti pembelaan yang serius terhadap (kehormatan) Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam adalah dengan mengagungkan syari’ah (risalah) yang beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bawa dalam al-Quran dan Sunnah (Hadits) dengan pemahaman Salaful UmmahYaitu dengan cara mengikuti dan berpegang teguh dengannya secara lahir dan batin, selanjutnya dengan menjadikan syariat ini sebagai hakim (penengah) dalam segenap sisi kehidupan dan urusan-urusan yang khusus maupun umum. Sungguh mustahil, keimanan akan sempurna tanpa itu. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

Dan mereka berkata, ‘kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).’ Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur[24]: 47).

Sikap ini jelas merupakan bentuk pembelaan yang hakiki dan penghormatan yang sejati. Pasalnya, standar penilaian dalam segala urusan adalah kenyataan yang terbukti, bukan sekedar penampilan lahiriah atau simbol-simbol kosong atau pernyataan hampa. Karenanya, Allah mengedepankan adab ini dari adab-adab lain yang mesti dilakukan bersama Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Allah ‘Azza wa Jalla melarang mendahului keputusan beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dengan keputusan yang tidak sejalan dengan keputusan beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam atau pernyataan yang tidak sesuai dengan sabda beliau. Akan tetapi, mestinya mereka mengikuti segala perintah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, tunduk kepada beliau dan menjauhi larangan beliau. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman di permulaan surat al-Hujuraat :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujuraat[43]: 1).

Termasuk sikap taqaddum baina yadaihi (lancang mendahului beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) yaitu sikap lebih memprioritaskan pemakaian undang-undang dan peraturan produk manusia daripada syariat yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam atau lebih mengutamakan hukum lain dari pada hukum (ketetapan hukum) beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam atau menyamakan hukum produk manusia tersebut dengan ketetapan hukum nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam atau berkomitmen untuk tetap berpegang teguh dengan ketentuan yang jelas-jelas bertentangan dengan petunjuk beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Allah berfirman :

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa[4]: 65).

Orang yang paling berkomitmen dengan sunnah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan paling besar kesempatannya untuk meneguk air dari telaga Rasulullah adalah ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena mereka menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam serta mengikuti syariat dan petunjuk beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.Sebagian orang ada yang menampakkan bahwa dirinya sedang melakukan pembelaan terhadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, namun ironisnya, ia justru tidak menaati perintahnya atau tidak menjauhi larangan dan tidak menghiraukan peringatan beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Bahkan terkadang kita temukan, sebagian dari mereka bermalasan dalam menjalankan shalat fardhu, mencukur jenggot, isbal (memanjangkan celana sampai menutupi mata kaki) dan berbuat berbagai macam maksiat dan kemungkaran.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah mengatakan, “Pengagungan kepada para utusan Allah diwujudkan dengan cara membenarkan berita yang mereka kabarkan dari Allah, menaati perintah mereka, mengikuti, mencintai dan berwala kepada mereka, bukan (sebaliknya) malah mendustakan risalah yang mereka emban, menomorduakan mereka atau berbuat melampaui batas dalam mengagungkan mereka. Justru ini adalah bentuk kekufuran terhadap mereka, pelecehan dan permusuhan terhadap mereka.”

Jadi, ittiba’ (mengikuti) rasul adalah barometer untuk mengukur sejauh mana kejujuran orang yang mengaku-aku mengagungkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Sebab, tidak masuk di akal atau tidak dapat dibayangkan ada orang mengklaim mengagungkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan menghormati beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, tapi (pada saat yang sama, dia) tidak berpegang teguh dengan perintah atau larangan beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, tidak memberikan perhatian dan memperhitungkan apa yang dibawa beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.Allah telah menjadikan ittiba’  (mengikuti) Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sebagai pertanda kecintaan kepada-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Ali Imran[3]: 31)

Bahkan lebih dari itu, Allah ‘Azza wa Jalla menjadikannya sebagai syarat keimanan dimana pengagungan terhadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam merupakan bagian dari keimanan itu Allah Subhaanahu wa Ta’aal berfirman,

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa[4]: 65).

Ittiba’ juga merupakan sifat kaum Mukminin, sebagaimana terkandung dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,

Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) dianta mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur[24]: 51).

...in syaa Allaah bersambung...