Tuesday, May 14, 2013

KAMRAN: menuntut ilmu adalah lakon para pemberani


Aku menemui seorang TKI di Masjid Nabawi, dia adalah seorang pelajar di Universitas Madinah. Pengetahuannya mengenai keislaman cukup luas sehingga dia banyak memberi informasi kepadaku mengenai dakwah manhajul salafussalih baik di tanah air dan kegiatan pembelajaran keagamaan di Saudi Arabia.
Kami bercakap cukup lama hingga sampai pada bahasan  bagaimana cara mempelajari bahasa Arab yang baik. Dia memberi rekomendasi untuk menemui Kamran, seorang yang giat belajar bahasa Arab dan seorang pelajar ilmu keislaman di Madinah.
Keesokan harinya aku menelepon Kamran. Dia menyambutku ramah, hanya saja saat itu bukan waktu yang tepat, “Pak, saya sedang menyetir.”
Aku baru sadar saat itu sedang waktunya menjemput anak sekolah. Kamran sedang dinas.
Kami menyepakati pertemuan.
Aku menuju tempat yang disepakati. Selepas magrib,  tidak jauh dari pintu masuk  no 19 Masjid Nabawi, ada pengajian untuk masyarakat Indonesia dalam bahasa Indonesia. pengajian ini difasilitasi oleh pengurus Masjid Nabawi. Pengajian resmi yang diisi oleh seorang ustadz yang sedang menempuh pendidikan S3 di Universitas Madinah.
Para TKI dan jamaah umrah duduk bersila di depan pemateri. Beliau ustad kondang di sini, duduk di atas kursi kayu besar dengan meja lipat di depannya. Meja itu bersatu dengan kursi, berguna untuk meletakkan kitab-kitab Arab tebal plus segelas atau dua gelas air zamzam.
Setelah menyapa dengan salam, memuji Allah dan salawat kepada Rasul, ustadz membawa ceramahnya dengan apik. Dalil ceramah adalah Alquran, Hadist, dan pemahaman para sahabat yang dinukil dari karya imam-imam besar.
Kira-kira pengajian baru berlangsung seperempat jam, telepon gengamku bergetar. Sebenarnya aku malas, meladeni telpon saat pengajian begini. Rasanya tidak enak menjawab telpon di area orang beibadah.
Bunyi telepon seolah  bersikeras. Aku mengalah, melihat sekilas. Kamran menelponku. Aku pikir pertemuan seusai pengajian. Aku menjauh dari pengajian dan mengangkat telpon.
“Pak mengapa pergi? Saya di sini juga lho…”
Aku melihat ke arah pengajian. Seseorang mengangkat tangan sambil tersenyum.
Aku menuju ke sana memperkenalkan diri dan Kamran menyambutku ramah.
Kamran bertutur tentang dirinya. Dia datang ke Saudi sebagai supir. TKI yang bekerja di sektor perumahan, istilah TKI mengenai perumahan dulu sempat membuat aku salah mengartikan. Perumahan bukanlah developer tapi bekerja di rumah. Kalau di Indonesia, mereka ini dikategorikan pekerja di sektor non formal alias bekerja bukan pada badan usaha seperti perusahaan atau lembaga-lembaga resmi lainnya.
Kamran bertugas mengantar anak sekolah. hingga suatu hari, hatinya jatuh cinta untuk menjadi penuntut ilmu. Hasrat ini dikemukankan kepada kafil-nya (majikan). Kamran ingin belajar bahsa Arab dan masuk ke Ma’had Haram, suatu institusi pendidikan yang dikelola oleh pengurus Masjid Nabawi.
“Tidak bisa” begitu kata kafil-nya.
Menjadi penuntut ilmu di Ma’had Haram artinya menjadi anak sekolah yang waktunya terikat.
“Aku sudah membayar mahal membawamu ke sini.” Kafil-nya memberi argumentasi. Memang bukan harga murah biaya mendatangkan tenaga kerja ke Saudi Arabia. “Aku membutuhkanmu untuk bekerja membawa anak ke sekolah dan keperluan lainnya.”
Kamran sedih. Hatinya tertuju dalam lautan buku. Berenang dalam pemahaman agama. Bukankah kewajiban setiap muslim mencari ilmu syari hingga ibadah yang dilakukan keseharian berlandaskan ilmu?
dalam skala priorita hidup. memenuhi kebutuhan dasar keilmuan untuk beridbadah dengan benar adalah hal pertama yang ingin Kamran wujudkan. Dia mencari sponsor yang bisa memhaminya.
setelah beberapa waktu, dia kembali menemui kafil-nya. mendaftar sebagai pelajar harus mendapat ijin kafil. “Pak, bagaimana kalau saya ditransfer ke kafil lain? Kafil baru saya akan mengganti biaya Bapak.”
Kafilnya terperanjat. Ini anak kayak angin ribut. Datang tiba-tiba dengan ide yang mengejutkan. Kafilnya diam.
“Ada kafil lain yang mau menerima saya dan mengijinkan saya belajar”
Kali ini kafilnya juga bersikeras, “Tetap tidak bisa”
Pertarungan alot seperti panggung yang bertabur debu karena pergumulan.
Tidak ada perang yang tidak usai. Titik temu mesti ada. Apalagi keduanya sama keras.
Kafil menyetujui. Kespakatan kedua pihak sama-sama lega menerimanya.
Kamran silahkan menjadi penuntut ilmu. Dia tidak boleh ditransfer ke kafil lain. Tugas utamanya tetap. Pagi hari Kamran mengantar anak ke sekolah dan siang menjemputnya seusai pendidikandi Ma’had Haram. Selain waktu tersebut, Kamran bebas. syarat lainnya,tapi dia tidak digaji. Nol.
Alhamdulilah, Kamran menerimanya dengan senang hati. Yang penting bisa sekolah walau gaji normal sebagai sopir yang pasarannya sekitar 1500 tidak dikantunginya. Kafil juga tidak terlalu dirugikan atas biaya mendatangkan Kamran ke rumahnya karena walaupun Kamran tidak bekerja penuh, kebutuhan utama mengantar sekolah anaknyatetap bisa terpenuhi dan dia tidak perlu membayar gaji bulanan.
Kamran tetap semangat mengikuti sekolah. Biaya hidupnya diodapat secara rutin SAR 400. Beasiswa dari sekolah. Bukan sesuatu yang besar, tapi sesuatu yang penuh dengan kecintaan. Sisa kebutuhannya tetap bisa terpenuhi dengan karunia Allah.
Saat dia bercerita tentang beratnya belajar menghafal di sekolah, memngingat umurnya kepala 3 selalu dalam benaknya ada bisikan “bisa nggak ya….”. Alhamdulilah, sejauh ini dia lancar-lancar saja.
Menemui Kamran dengan baju tsaub kuningnya di malam itu yang memeluk kitab arab dan nada bicara santun, aku tidak saja mendapat informasi mengenai bahasa Arab, aku juga melihat dan membuktikan  memang ada sebagian manusia yang sungguh-sungguh menuntut ilmu. Dilaluinya jalan yang sulit. Dia memilih dengan berani hal-hal besar dalam hidupnya. Pemberani dan pecundang memang satu panggung, tapi mereka menukil kisah sendiri-sendiri.
-------------------------
Tulisan temanku Abu Qamra Haikal

No comments:

Post a Comment