2. Wasiat untuk senantiasa bertaubat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُون
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat.”
(Shahih Jami’us Shaghir 4391)
Firman Allah:
أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Al Maa-idah: 74)
Ali bin Abu Thalhah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan ayat ini:
“Allah menyeru kepada
- orang yang mengklaim bahwa al-Masih (Nabi Isa) adalah Allah,
- orang yang mengklaim bahwa al-Masih adalah anak Allah,
- orang yang mengklaim bahwa Uzair adalah anak Allah,
- orang yang mengklaim bahwa Allah itu fakir,
- orang yang mengklaim bahwa Tangan Allah terbelenggu,
- dan orang yang mengklaim bahwa Allah adalah ketiga unsur dalam trinitas;
- orang yang mengklaim bahwa al-Masih adalah anak Allah,
- orang yang mengklaim bahwa Uzair adalah anak Allah,
- orang yang mengklaim bahwa Allah itu fakir,
- orang yang mengklaim bahwa Tangan Allah terbelenggu,
- dan orang yang mengklaim bahwa Allah adalah ketiga unsur dalam trinitas;
agar (memohon ampun dan bertaubat) kepadaNya”
(Tafsir Ibnu Katsir)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:
“Maksud ayat dari surat az-Zumar tersebut adalah larangan berputus asa dari rahmat Allah, meski dosa-dosa yang dilakukannya besar1. Tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk berputus asa dari rahmat Allah”
Ketika menjelaskan surat Az Zumar ayat 53 di atas, Ibnu Abbas mengatakan,
“Barangsiapa yang membuat seorang hamba berputus asa dari taubat setelah turunnya ayat ini, maka ia berarti telah menentang Kitabullah ‘azza wa jalla. Akan tetapi seorang hamba tidak mampu untuk bertaubat, hingga Allah memberi taufik padanya untuk bertaubat.”
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/141)
Ibnu al-Qayyim –rahimahullâh– berkata:
“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba-Nya, maka Dia akan membukakan baginya pintu-pintu taubat, penyesalan, rasa bersalah, hina, membutuhkan, meminta pertolongan kepada-Nya, keinginan kembali kepada-Nya, rendah diri, berdoa, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan amal kebaikan. Dosa itu tidak menjadi sebab turun rahmat-Nya, hingga musuh Allah berkata: “Andai aku meninggalkannya dan tidak melakukannya.”
Inilah maksud dari nasehat beberapa ulama salaf:
“Sesungguhnya seorang hamba melakukan dosa, kemudian dia masuk surga karenanya. Dan dia melakukan kebaikan, kemudian masuk neraka karenanya.”
Mereka berkata:
“Bagaimana bisa demikian?”
Dijawab:
“Dia melakukan dosa, dan senantiasa dirinya merasa takut berbuat dosa, rindu, menangis, menyesal, dan malu kepada Rabbnya, menundukkan kepala di hadapan-Nya, dan bersikap rendah hati. Maka, dosa itu lebih bermanfaat baginya daripada ketaatan-ketaatan, dan mengantarkannya kepada kebahagiaan hingga dosa tersebut menjadi penyebab dia masuk surga.”
Sub Bab:
- Pengertian Taubat Nasuha
- Syarat-Syarat Taubat
- Hukum Dan Anjuran Taubat Nashuha
- Luasnya Rahmat Allah
- Keutamaan Taubat
- Yang Perlu Diperhatikan Dalam Taubat
- Syarat-Syarat Taubat
- Hukum Dan Anjuran Taubat Nashuha
- Luasnya Rahmat Allah
- Keutamaan Taubat
- Yang Perlu Diperhatikan Dalam Taubat
Yang dimaksud dengan taubat nashuha, adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah dari dosa yang pernah dilakukannya, baik sengaja ataupun karena ketidaktahuannya; dengan jujur, ikhlas, kemauan kuat. dan didukung dengan ketaatan-ketaatan yang mengangkat seorang hamba mencapai kedudukan para wali Allah yang muttaqin (bertakwa) dan (ketaatan) yang dapat menjadi pelindung dirinya dari setan.
Hakikat taubat adalah kembali tunduk kepada Allah dari bermaksiat kepada-Nya kepada ketaatan kepada-Nya. Taubat ada dua macam: taubat mutlak dan taubat muqayyad (terikat). Taubat mutlak ialah bertaubat dari segala perbuatan dosa. Sedangkan taubat muqayyad ialah bertaubat dari salah satu dosa tertentu yang pernah dilakukan.
Syarat-syarat taubat meliputi:
- Beragama Islam
Tidak sah taubat dari dosa dan kemaksiatan kecuali dari seorang muslim, sebab taubatnya orang kafir adalah masuk islam. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya:
وَلاَ الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُوْلَـئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً
“Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (Qs. An Nisaa:18)
- Berniat ikhlash
Tidak sah taubat seseorang kecuali dengan ikhlas dengan cara menujukan taubatnya tersebut semata mengharap wajah Allah, ampunan dan penghapusan dosanya.
Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mukhlish (memurnikan ketaatan) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus
(al-Bayyinah: 5)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إلاَّ مَا كَانَ خَالِصًا وَ ابْتَغَي بِهِ وَجْهَ الله
“Sesungguhnya Allah tidak menerima satu amalan kecuali dengan ikhlas dan mengharap wajahNya.”
(HR. an-Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, sanadnya hasan, dihasankan oleh al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’)
Sehingga seorang yang bertaubat atau meninggalkan perbuatan dosa karena bakhil atas hartanya atau takut dicela orang atau tidak mampu melakukannya tidak dikatakan bertaubat secara syar’I menurut kesepakatan para ulama. Oleh karena itu kata taubat dalam Al Qur’an mendapat tambahan kata ‘kepada Allah’, seperti firman Allah:
إِن تَتُوبَآ إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan)”
(Qs. At Tahrim:4)
- Mengakui dosa
Tidak sah taubat kecuali setelah mengetahui, mengakui dan memohon keselamatan dari akibat jelek dosa yang ia lakukan.
Sebagaimana doa yang SAYYIDUL ISTIGHFAR yang dipanjatkan serta diajarkan Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam kepada kita:
وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
…Dan Aku mengakui dosa-dosaku kepada-Mu. Maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau
(HR. Bukhari dalam Shahiihnya, dalam Kitab ad-Da’awat, bab afdhalul istighfar).
Hadits ini menunjukkan ketika meminta ampun kepada Allah, harus disertai dengan pengakuan atas dosa yang kita dilakukan; sebagaimana pula disampaikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada A’isyah dalam kisah Fitnatul Ifki:
بَعْدُ يَا عَائِشَةُ فَإِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي عَنْكِ كَذَا وَكَذَافَإِنْ كُنْتِ بَرِيئَةً فَسَيُبَرِّئُكِ اللَّهُ وَإِنْ كُنْتِأَلْمَمْتِ بِذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرِي اللَّهَ وَتُوبِي إِلَيْهِ فَإِنَّالْعَبْدَ إِذَا اعْتَرَفَ بِذَنْبِهِ ثُمَّ تَابَ إِلَى اللَّهِ تَابَاللَّهُ عَلَيْه
Amma ba’du, wahai ‘Aa-isyah sungguh telah sampai kepadaku berita tentangmu bagini dan begitu. Apabila kamu berlepas (dari berita tersebut) maka Allah akan membersihkanmu dan jika kamu berbuat dosa tersebut, maka beristighfarlah kepada Allah dan bertaubatlah kepadaNya. Karena seorang hamba bila mengakui dosanya kemudian bertaubat kepada Allah niscaya Allah akan menerima taubatnya.
(HR Al Bukhori).
- Menyesali dosa
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
النَّدَمُ تَوْبَةٌ
Penyesalan itu Taubat
(HR Ibnu Majah, no. 4252 dan Ahmad no. 3568 dan yang lainnya. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ Ash Shaghir, no. 6678)
al-Imam an-Nawawiy rahimahullah berkata:
“Pokok dari taubat adalah penyesalan, dan (penyesalan) itulah rukunnya yang terbesar.”
(Syarah Muslim, IX/12).
- Meninggalkan perbuatan dosa
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah – Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.”
(QS. Al Imran:135)
Al Fudhail bin Iyaadh menyatakan:
“Istighfar tanpa meninggalkan kemaksiatan adalah taubat para pendusta.”
- bertekad untuk tidak mengulanginya, dan bersabar untuk tetap diatas jalan yang benar
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(QS. Huud: 112)
- Bertaubat pada waktu diterimanya taubat
Allah berfirman:
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan:
إِنِّي تُبْتُ الْآنَ
“Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”
وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ
Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran.
أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.”
(QS. An-Nisaa 4:18)
Allah berfirman:
حَتَّىٰ إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ
…hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia:
آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ
”Saya percaya bahwa tidak ada Ilah melainkan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan!?
(QS. Yunus 10 : 90-91)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
الْهِجْرَةُ لاَ تَنْقَطِعُ حَتَّى تَنْقَطِعَ الْتَوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ الْتَوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Hijroh tidak terputus sampai terputusnya taubah dan taubat tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat.”
(HR Abu Dawud, no. 2479 dan Ahmad dalam Musnad (3/99) dan dishahihkan dalam Shahih Al Jami’, no. 746)
Dan sabda beliau :
إِنَّاللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَمُسِيئُ النَّهَارِوَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّىتَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk mene-rima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat.”
(HR. Muslim)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
“Sesungguhnya Allah menerima taubat hambaNya selama belum sakaratul maut.”
(HR At Tirmidzi no. 3537 dan dihasankan Al Albani dalam Shahih al-Jami’ Ash Shagir no. 1899)
- Mengiringi taubat dengan amalan shalih
Allåh berfirman:
وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۖ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: “Salaamun alaikum. Rabbmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. al-An’aam: 54)
Allah berfirman:
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا . وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا
kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat DAN MENGERJAKAN AMALAN SHALIH, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
(Al-Furqaan: 70-71)
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.
(Thaa-Haa: 82)
فَأَمَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسَىٰ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُفْلِحِينَ
Adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal yang saleh, semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung. (Al-Qashash: 67)
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا
kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.
(Maryam: 60)
(jika berkaitan dengan hak-hak manusia, terlebih lagi hak-hak saudara semuslim maka)
- Mengembalikan hak-haknya; jika ia berbentuk harta.
- atau meminta kehalalan atau keridhan dari orang yang dizhalimi jika itu merupakan kehormatan.
Dalam masalah ini, khusus untuk ghibah, maka terdapat perincian;
Apabila orang tersebut telah mengetahui perbuatan ghibah tersebut, maka harus menemuinya dan minta dimaafkan. Namun bila tidak mengetahuinya, maka menemuinya dan meminta maaf kepadanya; (tanpa memerinci ghibah seperti apa yang ia lakukan terhadapnya) dan menyampaikan kebaikan-kebaikannya dimajlis-majlis yang kita pernah gunakan dalam menggibahinya, karena kebaikan-kebaikan menghapus kejelekan.
- jika berupa kezhaliman terhadap tubuh/jasad; maka mendatangi orang yang kita zhalimi tersebut dengan memudahkannya agar ia bisa membalas kezhaliman yang kita pernah lakuakn terhadapnya.
(lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah, tentang pembahasan isi khutbatul hajah).
Hukum taubat nashuha adalah fardhu ‘ain (menjadi kewajiban setiap individu) atas setiap muslim. Diantara dalilnya adalah :
Firman Allah:
أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya?. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Al Maa-idah: 74)
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya
(Hud: 3)
Allåh juga berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, mudahan-mudahan kamu beruntung.
(QS An Nuur:31)
Para mufassirin menjelaskan makna لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (mudah-mudahan kalian beruntung) di sini adalah: سَتُفْلِحُونَ (kalian pasti akan beruntung).
Allåh juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya).
(QS At Tahriim : 8)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى رَبِّكُمْ فَإِنِّي أَتُوبُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ
Wahai, sekalian manusia. Bertaubatlah kepada Allah, karena saya juga bertaubat kepada Allah sehari seratus kali.
(HR. Muslim)
Umat Islam juga telah bersepakat tentang kewajiban bertaubat, sebagaimana
dinyatakan Imam Al Qurthubi :
“(Para ulama) umat telah ijma’ (bersepakat) bahwa hukum bertaubat adalah fardhu (wajib) atas seluruh mukminin”.
(Al Jaami’ Li Ahkam Al Qur’an (5/90))
firman Allah Ta’ala,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Az Zumar: 53).
Ketika menjelaskan surat Az Zumar ayat 53 di atas, Ibnu Abbas mengatakan,
“Barangsiapa yang membuat seorang hamba berputus asa dari taubat setelah turunnya ayat ini, maka ia berarti telah menentang Kitabullah ‘azza wa jalla. Akan tetapi seorang hamba tidak mampu untuk bertaubat sampai Allah memberi taufik padanya untuk bertaubat.”
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/141)
Ibnu Katsir mengatakan,
”Ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat baik kekafiran dan lainnya untuk segera bertaubat kepada Allah. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang ingin bertaubat dari dosa-dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat banyak, bagai buih di lautan.”
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/138-139, Muassasah Qurthubah)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah akan mengampuni setiap dosa walaupun itu dosa kekufuran, kesyirikan, dan dosa besar (seperti zina, membunuh dan minum minuman keras).
Sebagaimana Ibnu Katsir mengatakan,
”Berbagai hadits menunjukkan bahwa Allah mengampuni setiap dosa (termasuk pula kesyirikan) jika seseorang bertaubat. Janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah walaupun begitu banyak dosa yang ia lakukan karena pintu taubat dan rahmat Allah begitu luas.”
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/140)
Diantara hadits tersebut adalah:
Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman
قَالَ اللَّهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى
Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan.
يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى
Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan.
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Wahai anak Adam, seandainya seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.”
(HR. Tirmidzi no. 3540. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang diceritakan dari Rabbnya ‘azza wa jalla,
أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ
“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu dia mengatakan
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى.
‘Allahummagfirliy dzanbiy’ [Ya Allah, ampunilah dosaku].
فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Lalu Allah berfirman,
أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ
‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya),.
ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ
kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan,
أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى.
‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku].
فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Lalu Allah berfirman,
عَبْدِى أَذْنَبَ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ.
‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya)
ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ
kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan,
أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى.
‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku].
فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Lalu Allah berfirman,
أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ
‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa. Beramallah sesukamu, sungguh engkau telah diampuni.”
(HR. Muslim)
An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘beramallah sesukamu’ adalah selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Allah akan mengampunimu.
An Nawawi mengatakan,
”Seandainya seseorang berulang kali melakukan dosa hingga 100 kali, 1000 kali atau lebih, lalu ia bertaubat setiap kali berbuat dosa, maka pasti Allah akan menerima taubatnya setiap kali ia bertaubat, dosa-dosanya pun akan gugur. Seandainya ia bertaubat dengan sekali taubat saja setelah ia melakukan semua dosa tadi, taubatnya pun sah”
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/75)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ
”Orang yang bertaubat dari suatu dosa seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa itu sama sekali.”
(HR. Ibnu Majah no. 4250. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Orang yang bertaubat akan Allah ganti kesalahan yang pernah ia perbuat dengan kebaikan. Sehingga seakan-akan yang ada dalam catatan amalannya hanya kebaikan saja.
Allah Ta’ala berfirman:
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
”Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Furqon: 70)
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
”Allah akan mengganti amalan kejelekan yang diperbuat seseorang dengan amalan sholih. Allah akan mengganti kesyirikan yang pernah ia perbuat dengan keikhlasan. Allah akan mengganti perbuatan maksiat dengan kebaikan. Dan Allah pun mengganti kekufurannya dahulu dengan keislaman.”
- Istiqomah diatas taubat dan berpegang teguh diatas Islam
Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ .
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalan keadaan beragama Islam.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا . كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan ingatlah ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
(Ali ‘Imran :102-103)
Asy-Syaikh Abdurraman As-Sa’di menjelaskan :
“Ini merupakan perintah dari Allah kepada para hamba-Nya yang beriman agar bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa, terus-menerus di atas hal itu, teguh di atasnya serta istiqamah sampai datang kematian. Sebab, siapa yang hidup di atas sesuatu; maka ia akan meningal dunia di atasnya.
Maka siapa yang dalam keadaan sehatnya, semangatnya dan kemampuannya selalu bertakwa dan taat kepada-Nya serta terus-menerus kembali kepada-Nya, niscaya Allah meneguhkannya ketika wafat dan dianugerahi-Nya akhir kehidupan yang baik dan takwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya”.
(Taisirul Karimir Rahman Fi Tafsi Kalamil Mannan, karya Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di)
Asy-syaikh Rabi’ bin Hadi mengatakan :
“Al-I’tishom maknanya teguh, yaitu teguhlah dan berpeganglah, niscaya ia akan membantu kalian mewujudkan sikap teguh di atas al-Islam yang telah Allah perintahkan kita agar menjaganya hingga kita mati”.
(Ats-Tsabat ‘Alas Sunnah, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali)
Allah Ta’ala berfirman :
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(QS. Huud: 112)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi menjelaskan :
“Ini merupakan perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikut beliau yang taubat kepada Allah, kembali kepada-Nya agar mereka tetap berada di atas jalan-Nya yang lurus dan teguh di atas agama-Nya agar mereka istiqamah di atasnya.
Dan istiqamah adalah teguh di atas apa yang diperintahkan Allah kepadamu; engkau berpegang teguh dengan aqidah yang diperintahkan Allah, engkau berpegang teguh dengan semua perintah yang Allah perintahkan kepadamu serta menjauhi larangan-larangan yang Allah larang dan haramkan atas dirimu”
(Ats-Tsabat ‘Alas Sunnah, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali)
Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ . فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman , masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan.Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
(Al-Baqarah : 208-209)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi menjelaskan :
“Ini merupakan perintah agar teguh di atas Islam secara keseluruhannya: aqidah-aqidahnya, ibadah-ibadahnya, perkara halal dan haramnya serta semua cabangnya. Janganlah engkau meninggalkannya sedikitpun.
Cabang-cabang Islam dan iman itu sangat banyak, upayakanlah sebisamu agar engkau tidak meninggalkannya sedikitpun, dan bisa jadi kita tidak mampu, namun semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan kita. Akan tetapi engkau bertekad tidak akan meninggalkannya sedikitpun.
Janganlah engkau tinggalkan sesuatu yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebailknya engkau menggigitnya dengan gigi-gigi geraham , beriman kepadanya, mencintainya dan teguh di atasnya ; perkara-perkara wajib, mustahab dan aqidah-aqidah, upayakanlah sebisanya”.
(Ats-Tsabat ‘Alas Sunnah, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali)
- Terus menuntut ilmu syar’iy untuk lebih mengenal agama;
Menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi. Seorang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu syar’i. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.
(HR Ibnu Majah No. 224 dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahih Jamiush Shagir, no. 3913)
Ilmu adalah warisan para nabi; yang hendaknya kita mengambilnya, dan barangsiapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ رَوَاه التِّرْمِذِيْ
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, namun hanya mewariskan ilmu. Sehingga siapa yang mengambil ilmu tersebut maka telah mengambil bagian sempurna darinya (dari warisan tersebut).
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80-Mawaarid), ini lafazh Ahmad, dari Shahabat Abu Darda' radhiyallaahu ‘anhu]
Dengan menuntut ilmu syar’iy maka kita dapat memahami agama ini, dan dengan memahami agama ini, maka kita telah diberikan sebuah kebaikan yang besar oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
Barang siapa yang Allah inginkan padanya kebaikan, maka Allah fahamkan agamanya.
(Bukhariy dan Muslim)
Menuntut ilmu adalah jalan menuju Surga. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
…مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Surga.
(HR Muslim 4/2074 no. 2699 dan yang lainnya dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
(Sumber:http://ustadzkholid.wordpress.com/2008/10/23/mensyukuri-nikmat-allah-dengan-menuntut-ilmu-agama-2/)
Berkata al-Imam Jauziy:
“Ketahuilah bahwa hati manusia tidak (mungkin) terus (dalam keadaan) bersih. Akan tetapi (suatu saat mesti) akan bernoda (karena dosa dan maksiat), maka (pada waktu itu) dibutuhkan pembersih (hati), dan pembersih hati itu adalah menelaah kitab-kitab ilmu (agama untuk mempelajari, memahamidan mengamalkannya dengan benar)”
(Talbiisu Ibliis hal.398)
Alangkah indahnya ucapan Imam Ahmad bin Hambal, Imam ahlus Sunnah di jamannya, ketika menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama ini dalam ucapan beliau yang terkenal:
“Kebutuhan manusia terhadap ilmu (agama) melebihi besarnya kebuthan mereka terhadap makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari, adapun ilmu (agama) dibutuhkan (sesuai) dengan hitungan nafas manusia (setiap waktu).”
(Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/61) dan (1/81))
- Terus mengingat dosa-dosa yang telah lalu agar senantiasa bertaubat kepada Allah
Allåh berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ
Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya; lalu dia berpaling dari padanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya?
(Al-Kahf: 57)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam berdoa (dan mengajarkan kepada kita) dalam SAYYIDUL ISTIGHFAR:
وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
…Dan Aku mengakui dosa-dosaku kepada-Mu. Maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau…
(HR. Bukhari dalam Shahiihnya, dalam Kitab ad-Da’awat, bab afdhalul istighfar).
Hadits ini menunjukkan perintah untuk mengingat-ingat dosa yang pernah kita lakukan dan tidak melupakannya.
- Tidak meremehkan dosa kecil
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا قَالَ أَبُو شِهَابٍ بِيَدِهِ فَوْقَ أَنْفِهِ
“Sesungguhnya orang mukmin melihat dosa-dosanya seperti ia duduk di pangkal gunung, ia khawatir gunung itu akan menimpanya, sedangkan orang fajir (selalu berbuat dosa) melihat dosa-dosanya seperti lalat yang menempel di batang hidungnya, kemudian ia mengusirnya seperti ini* lalu terbang.”
*Abu Syihab (salah satu perawi hadits) mengisyaratkan dengan tangannya di atas hidungnya.
(HR. Bukhariy)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda kepada Ummul Mukminin ‘Aa-isyah radhiyallåhu ‘anha:
يَا عَائِشُ إِيَّاكِ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّ لَهَا مِنْ اللَّهِ طَالِبًا
“Wahai Aisyah, takutlah engkau terhadap dosa-dosa kecil, karena ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.”
(HR. Ahmad, ad-Darimiy; dll)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ
“Berhati-hatilah kalian terhadap dosa kecil, sebab jika ia berkumpul dalam diri seseorang akan dapat membinasakannya.”
(HR ahmad dan Thabrani dalam Al Awsath; dalam sanad kedua riwayat ini ada Imran bin Dawir Al Qaththan; namun dia dapat dipercaya, demikian kata Imam Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 10/192)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا
Aku benar-benar melihat diantara umatku pada hari Kiamat nanti, ada yang datang dengan membawa kebaikan sebesar gunung di Tihamah yang putih, lalu Allah menjadikannya seperti kapas berterbangan…
Tsauban bertanya, Ya Rasulullah, jelaskan kepada kami siapa mereka itu agar kami tidak seperti mereka sementara kami tidak mengetahui!
Beliau bersabda,
أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا
Mereka adalah saudara-saudara kalian dan sebangsa dengan kalian, mereka juga bangun malam seperti kalian, akan tetapi apabila mendapat kesempatan untuk berbuat dosa, mereka melakukannya…
(HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam Silsilatul Ahaadits Shahihah No,505)
Ibnu Mas’ud Radhiallaahu ‘anhu pernah berkata:
“Seorang mukmin melihat suatu dosa seakan-akan ia duduk dibawah gunung dan takut jikalau gunung itu menimpanya dan orang fajir (pendosa) melihat dosa bagaikan lalat yang lewat didepan hidungnya seraya berkata “begini”, Ibnu Syihab menafsirkan: yakni berisyarat (mengebutkan) tangannya didepan hidung untuk mengusir lalat.
Suatu ketika shahabat Anas Radhiallaahu ‘anhu pernah berkata kepada sebagian tabi’in:
“Sesungguhnya kalian semua melakukan suatu perbuatan yang kalian pandang lebih kecil dari pada biji gandum padahal di masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kami menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat membinasakan. “
(riwayat Al Bukhari).
Di sini bukan berarti Anas mengatakan bahwa dosa besar dimasa Rasulullah dihitung sebagai dosa kecil setelah beliau wafat, namun itu semata-mata karena pengetahuan para shahabat akan keagungan Allah yang lebih sempurna. Makanya dosa kecil bagi mereka-jika sudah dikaitkan dengan kebesaran Allah- akan menjadi sangat besar.
Dan dengan sebab ini pula maka suatu dosa akan dipandang lebih besar jika dilakukan orang alim dibandingkan jika pelakunya orang jahil, bahkan bagi orang awam boleh jadi suatu dosa dibiarkan begitu saja (dimaklumi) karena ketidaktahuannya yang mana itu tentu tidak berlaku bagi orang alim dan arif. Atau dengan kata lain bahwa besar kecilnya suatu dosa sangat berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan dan keilmuan pelakunya
(ithaf as-sa’adah al-muttaqin 10/690).
Tapi meski bagaimanapun seseorang seharusnya dituntut untuk menganggap besar suatu dosa, sebab jika tidak demikian maka tidak akan lahir rasa penyesalan. Adapun jika menganggap besar atas suatu dosa maka ketika melakukannya akan disertai dengan rasa sesal. Ibarat orang yang menganggap uang receh tak bernilai, maka ketika kehilangan ia tak akan bersedih dan menyesalinya. Namun ketika yang hilang adalah dinar (koin emas) maka tentu ia akan sangat menyesal dan kehilangannya merupakan masalah yang besar.
(Sumber: Al-’Ibadat Al-Qalbiyah, Dr. Muhammad bin Hasan bin Uqail Musa Asy-Syarif,http://ibnujafar86.wordpress.com/2009/05/12/jangan-sepelekan-dosa-kecil/)
- Menambah muraqabatullah
Allah ta’ala berfirman
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada rabb kalian…
sampai pada firmanNya
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Sesungguhnya Allah senantiasa mengawasi kalian.
(QS. An Nisaa’ [4] : 1)
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
”Hendaknya engkau beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Kalau engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia selalu melihatmu.”
(HR. Muslim)
Yahya bin Mu’adz rahimahullah mengatakan,
”Bukanlah orang yang jujur seorang yang mengaku mencintai Allah akan tetapi tidak menjaga aturan dan larangan-larangan-Nya.”
(Jami’ al-‘Ulum, hal. 95)
Allåh berfirman:
أَوَلَا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allåh mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka tampakkan?!
(QS. 2:77)
Berkata Syaikh dr. Abdul Qåyyim as-Suhaibaniy hafizhahullahu ta’ala berkata:
“Jika anda MEYAKINI bahwa Allåh tidak melihat, maka alangkah besar kekufuran anda. Jika anda mengetahui bahwa Allåh (Maha Melihat lagi) Maha Mengetahui, maka alangkah parah keburukan anda, dan alangkah sedikit rasa malu anda (terhadapNya)!!”
(Sumber: majalah as-sunnah edisi 06-07/thn xii/ramadhån 1429 H/ sept 2008M)
- Berhenti berbuat bid’ah
إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ.
“Sesungguhnya Allah menghalangi taubat dari pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya.”
(Riwayat Thabrani, Baihaqi, dan Adh Dhiya dari Anas radliyallahu ‘anhu; diSHAHIHkan oleh syaikh al-Albaniy dalam shahih targhib wa tarhib no 54)
Sufyan Ats Tsaury berkata,
“Bid’ah lebih dicintai iblis daripada maksiat, orang terkadang bertaubat dari maksiat tetapi seseorang akan sulit bertaubat dari perbuatatan bid’ah”.
Hal ini dikarenakan pelaku bid’ah menganggap bid’ah yang dilakukannya itu sebagai amal sholih yang mendekatkan diri pada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu dia tidak akan pernah berpikir untuk bertaubat dari perbuatan bid’ahnya tersebut dan bahkan sebaliknya ia berusaha melanggengkan amalan bid’ah tersebut.
- Menjaga pergaulan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.”
(HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan,
“Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”
(Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/324, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379)
An Nawawi mengatakan,
”Hendaklah orang yang bertaubat mengganti temannya dengan teman-teman yang baik, sholih, berilmu, ahli ibadah, waro’dan orang-orang yang meneladani mereka-mereka tadi. Hendaklah ia mengambil manfaat ketika bersahabat dengan mereka.”
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/83)
- Meninggalkan dan menjauhi tempat-tempat yang menyebabkannya jatuh kedalam maksiat
Dalam hadits yang masyhur, seorang ‘alim menasehati kepada pembunuh yang membunuh 100 orang:
انْطَلِقْ إِلى أرضِ كَذَا وكَذَا فإِنَّ بِهَا أُناساً يَعْبُدُونَ الله تَعَالَى فاعْبُدِ الله مَعَهُمْ ، ولاَ تَرْجِعْ إِلى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أرضُ سُوءٍ
“Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu(yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.”
(HR. Bukhari dan Muslim no. 2766)
An Nawawi mengatakan,
”Hadits ini menunjukkan orang yang ingin bertaubat dianjurkan untuk berpindah dari tempat ia melakukan maksiat.”
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/83)
(sumber: http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/aku-ingin-bertaubat-tetapi.html)
- Bersegera kembali kepada Allah jika terjerumus ke dalam dosa
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ)
“Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.”
(HR. At Tirmidzi no. 3334, Ibnu Majah no. 4244, Ibnu Hibban (7/27) dan Ahmad (2/297). At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan perkataan Hudzaifah dalam fatawanya. Hudzaifah berkata,
“Iman membuat hati nampak putih bersih. Jika seorang hamba bertambah imannya, hatinya akan semakin putih. Jika kalian membelah hati orang beriman, kalian akan melihatnya putih bercahaya. Sedangkan kemunafikan membuat hati tampak hitam kelam. Jika seorang hamba bertambah kemunafikannya, hatinya pun akan semakin gelap. Jika kalian membelah hati orang munafik, maka kalian akan melihatnya hitam mencekam.”
Mujahid rahimahullah mengatakan,
“Hati itu seperti telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.”
Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,
“Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati.”
Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan,
“Hati mereka tertutupi oleh “ar raan” seperti karat karena maksiat yang mereka perbuat.”
Catatan Kaki
- –Catatan kaki Abu Zuhriy:Bahkan untuk dosa syirik/kufur/nifaq sekalipun, karena Allåh berfirman:قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Az Zumar: 53) ↩-----
No comments:
Post a Comment