Wednesday, June 5, 2013

Sedikit Nasehat kepada Pemberi Hutang dan Penghutang (bag 1)

Pertama-tama…
Hendaknya keduanya menuliskannya (dan amanah dalam penulisannya dan penjagaannya), dan hendaknya pula keduanya mendatangkan saksi-saksi, yang mana saksi-saksi tersebut hendaknya saksi-saksi yang adil lagi amanah.
Berkata Imaam ibnu Katsiir dalam menafsirkan al Baqarah 282: “Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi…”
>> Pemberi hutang <<
Tidak meniatkan pencarian untung dalam pemberian hutang.
Sebagaimana kaidah yang DISEPAKATI ULAMA:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا

“Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.” (asy Syarh Al Mumthi’, 8/63; kutip dari muslim.or.id)
>> Penghutang <<
Tidak meniatkan PENCURIAN dalam hutangnya (berhutang dengan niat tidak mengembalikan utangnya)
Rasuulullaah bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا

“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.”(HR. Ibnu Majah; Hasan Shahiih)
Tidak boleh pula ia berhutang dengan jumlah yang TIDAK MUNGKIN ia mampu bayarkan, atau berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar, berhutang dengan niat meminta (karena ia malu mengatakan “minta”, maka ia menggunakan kata “hutang”; atau karena jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi), apalagi meniatkan hutang dalam perkara yang tidak dibutuhkan, apalagi hanya untuk sekedar bersenang-senang!!!
[Penjelasan diatas diambil dari penjelasan ustadz armen dalam artikelnya: "Adab berhutang", dengan tambahan penjelasan dari ustadz irwandi tarmidzi]
Bahkan sangat diharamkan apabila niat hutang tersebut untuk membangkrutkan pihak yang dihutangi
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa yang mengambil harta manusia, dengan niat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan dirinya.”(HR Bukhaariy dan selainnya)
>> Pemberi hutang <<
Bersikap baik dalam menagih hutangnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ طَلَبَ حَقًّا فَلْيَطْلُبْهُ فِى عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرِ وَافٍ

“Siapa saja yang ingin meminta haknya, hendaklah dia meminta dengan cara yang baik baik pada orang yang mau menunaikan ataupun enggan menunaikannya.”(HR. Ibnu Majah, shahiih)
Beliau juga bersabda,
خُذْ حَقَّكَ فِى عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرِ وَافٍ

“Ambillah hakmu dengan cara yang baik pada orang yang mau menunaikannya ataupun enggan menunaikannya.”(HR. Ibnu Maajah, shahiih)
Bahkan beliau mendoakan:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ ، وَإِذَا اشْتَرَى ، وَإِذَا اقْتَضَى

“Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih haknya (utangnya).”(HR. Bukhaariy)
Tidak memberi denda dalam keterlambatan utang.
Jika ia khawatir penghutang tidak membayar hutangnya, maka ia boleh mensyaratkan adanya BARANG GADAIAN; yang mana jika hutang tidak dapat dilunasi penghutang, maka ia berhak untuk menjual barang gadaian tersebut (dan mengambil hasil penjualannya SEBATAS JUMLAH UTANG dari pihak penghutang).
Boleh memberi sanksi lain, selain denda (baik itu ucapan yang pedas, atau bahkan memenjarakannya) kepada penghutang yang tidak disiplin dalam membayar hutang.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. : “Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata,
دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا

“Biarkan dia. Sesungguhnya si pemilik harta memiliki hak untuk berucap…”(HR BUkhaariy)
Rasuulullaah bersabda:
لي الواجد يحل عقوبته وعرضه

“Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum (diberi sanksi) dan (juga) keehormatannya”.(Shahiih; HR ibnu Maajah)
Memberi kelapangan terhadap penghutang (yang sudah berusaha membayar, tapi kesusahan dalam membayar)
Allaah berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang berutang) itu dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”[al-Baqarah 2:280]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا ، فَلَـهُ بِكُـّلِ يَوْمٍ صَدَقَـةٌ قَبْـلَ أَنْ يَـحِلَّ الدَّيْنُ ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ ، فَـأَنْظَرَهُ بَعْدَ ذٰلِكَ ، فَلَهُ بِكُـّلِ يَـوْمٍ مِثْـلِهِ صَدَقَـةٌ.

Barangsiapa memberi tempo waktu kepada orang yang berutang yang mengalami kesulitan membayar utang, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah pada setiap hari sebelum tiba waktu pembayaran. Jika waktu pembayaran telah tiba kemudian ia memberi tempo lagi setelah itu kepadanya, maka ia mendapat sedekah pada setiap hari semisalnya.[Shahiih; HR al Haakim, dan selainnya]
Jika orang yang berutang tidak mungkin untuk membayar dan kita telah melihat keadaan keluarga dan usahanya sulit, maka yang terbaik adalah membebaskan utangnya.
(Penjelasan ustadz Yazid dalam: “Ruh Seorang Mukmin Terkatung-Katung (Tertahan) Pada Hutangnya Hingga Dilunasi”)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :
كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ : تَجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ.

“Dahulu ada seorang pedagang yang suka memberikan pinjaman kepada manusia. Jika ia melihat orang kesulitan membayar utangnya, maka ia berkata kepada para anak buahnya, ‘Maafkanlah darinya (bebaskanlah dari utangnya) mudah-mudahan Allâh memaafkan kita.’ Maka Allâh pun memaafkannya.”[HR Bukhaariy]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى ظِلِّهِ فَلْيُنْظِرِ الْمُعْسِرَ أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ

“Barangsiapa ingin mendapatkan naungan Allah ‘azza wa jalla, hendaklah dia memberi tenggang waktu bagi orang yang mendapat kesulitan untuk melunasi hutang atau bahkan dia membebaskan utangnya tadi.”(HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shohih)
>> Penghutang <<
TIDAK MEMANFAATKAN kebaikan dan kelapangan orang lain.
Sehingga ia pun tidak berusaha menunaikan hutangnya, sembari (membawakan dalil diatas) kepada pemberi hutang, sehingga ia bersantai-santai dengan hutangnya tersebut, dan berusaha membayarnya pada waktunya (molor sampai berbulan-bulan)
Atau mungkin dengan harapan agar orang-orang membebaskan hutangnya! Tidakkah ia khawatir ia digolongkan sebagai pencuri?! (karena berhutang dengan mengharapkan nantinya akan dibebaskan hutangnya?!)
Hendaknya BERUSAHA membayar hutangnya, dan membayarnya tepat pada waktu yang telah disepakati dan bersikap baik ketika ditagih hutangnya
Rasuulullaah bersabda:
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.”(HR. Bukhaariy)
Rasuulullaah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ

“Sesungguhnya (pertolongan) Allaah senantiasa bersama orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.”(HR. Ibnu Maajah; shahiih)
Beliau juga bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ

Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkannya untuk melunasi hutang tersebut. (HR Ibnu Maajah dan an Nasaa-iy; Shahiih)
TIDAK MENUNDA-NUNDA pelunasannya
Rasuulullaah bersabda:
مَطْلُ الْـغَنِيِّ ظُلْمٌ

Menunda-nunda (pembayaran utang) dari orang yang mampu adalah kezhaliman(HR Abu Dawud, shahiih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.”(HR. Tirmidzi; shahiih)
Bahkan hal ini berlaku pada ORANG YANG MATI SYAHID, sebagaimana sabda beliau:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya, kecuali utang(HR Muslim)
Beliau bahkan bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.”(HR. Ibnu Maajah; shahiih)
...in syaa Allaah bersambung...

No comments:

Post a Comment