Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita
ketika dulu zaman masih sekolah SD atau SMP, kita diajarkan bahwa makna kalimat
tauhid “laa ilaaha illallah” adalah “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Inilah
makna yang selama ini terpatri dalam hati sanubari kita tanpa sedikit pun kita
berfikir tentang kebenaran makna tersebut. Karena memang itulah yang diajarkan
oleh guru-guru kita pada saat masih sekolah dulu.
Kesalahfahaman ini tidak hanya dialami
oleh masyarakat awam, bahkan orang-orang yang dikenal sebagai “cendekiawan”
muslim pun salah faham tentang makna kalimat tauhid ini. Buktinya, di antara
mereka ada yang mengartikan “laa ilaaha illallah” sebagai “Tidak ada tuhan (“t”
kecil) selain Tuhan (“t” besar)”.
Untuk Apa Membahas Makna Kalimat Tauhid?
Perlu digarisbawahi bahwa kalimat “laa
ilaaha illallah” yang diucapkan oleh seseorang tidak akan bermanfaat kecuali
dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya serta mengamalkan konsekuensinya.
Hal ini seperti ibadah shalat yang tidak akan sah kecuali dengan memenuhi
syarat dan rukunnya, serta tidak melakukan pembatal shalat. Di antara syarat
“laa ilaaha illallah” yang harus dipenuhi adalah seseorang harus mengetahui
makna kalimat tersebut.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah”
(QS. Muhammad [47]: 19).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan
yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk surga” (HR. Muslim).
Dari dalil-dalil dari Al Qur’an dan
As-Sunnah tersebut, para ulama rahimahullah menyimpulkan bahwa salah satu
syarat sah “laa ilaaha illallah” adalah seseorang mengetahui makna “laa ilaaha
illallah” dengan benar.
Tidak Ada “Tuhan” selain Allah?
“Tidak ada Tuhan selain Allah” merupakan
makna kalimat “laa ilaaha illallah” yang populer di kalangan kaum muslimin.
Dalam hal ini, kata “ilah” diartikan dengan kata “Tuhan”. Namun perlu diketahui
bahwa kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki dua makna.
Pertama, kata “Tuhan” yang identik dengan
pencipta, pengatur, penguasa alam semesta, pemberi rizki, yang menghidupkan,
yang mematikan, dan yang dapat memberikan manfaat atau mendatangkan madharat.
Kedua, kata “Tuhan” yang berarti sesembahan.
Yaitu sesuatu yang menjadi tujuan segala jenis aktivitas ibadah.
Karena terdapat dua makna untuk kata
“Tuhan”, maka kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” juga memiliki dua
pengertian. Pengertian pertama, “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan
pengatur alam semesta selain Allah”. Pengertian kedua, “Tidak ada sesembahan
selain Allah”. Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya kita akan meninjau
apakah memaknai kalimat “laa ilaaha illallah” dengan kedua pengertian tersebut
sudah benar serta berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah?
Tidak Ada Pencipta, Pemberi rizki, dan
Pengatur alam semesta selain Allah
Memaknai “laa ilaaha illallah” dengan
“Tidak ada Tuhan selain Allah” yang berarti “Tidak ada pencipta, pemberi rizki,
dan pengatur alam semesta selain Allah” adalah pemahaman yang keliru. Berikut
ini kami sampaikan beberapa bukti yang menunjukkan kesalahan tersebut.
Bukti pertama,
Kaum musyrikin pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengakui bahwa Allah Ta’ala adalah
satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta.
Hal ini dapat kita ketahui dari dalil berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman
yang artinya, “Katakanlah, ’Siapakah yang
memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah
yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab,’Allah’”
(QS. Yunus [10]: 31).
Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa kaum
musyrikin pada zaman dahulu (mengetahui dan) meyakini sifat-sifat rububiyyah
Allah, yaitu bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat Yang
Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam semesta.
Namun, keyakinan seperti itu ternyata
belum cukup untuk memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang
bertauhid. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap memerangi
mereka, menghalalkan darah dan harta mereka meskipun mereka memiliki keyakinan
seperti itu.
Oleh karena itu, apabila kalimat “laa
ilaaha illallah” diartikan dengan “Tidak ada pencipta selain Allah”, “Tidak ada
pemberi rizki selain Allah”, atau “Tidak ada pengatur alam semesta selain
Allah”, maka apa yang membedakan antara orang-orang musyrik dan orang-orang
Islam?!
Jika orang-orang musyrik itu masuk Islam
dengan dituntut mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah” dengan makna seperti
itu, lantas apa yang membedakan mereka ketika masih musyrik dan ketika sudah
masuk Islam?!
Bukankah ketika mereka masih musyrik juga
sudah mengakui bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat Yang
Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam semesta?!
Bukti kedua,
Konsekuensi dari makna tersebut berarti
kaum musyrik pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah orang
musyrik. Demikian pula, segala jenis perbuatan mereka yang menujukan ibadah kepada
selain Allah Ta’ala berarti bukan syirik.
Hal ini karena konsekuensi dari makna
tersebut adalah seseorang tetap disebut sebagai seorang muslim meskipun dia
berdoa meminta kepada para wali yang sudah mati, atau berdoa kepada Allah
melalui perantaraan (tawassul) orang-orang shalih yang sudah meninggal, atau
menyembelih untuk jin penunggu jembatan, selama mereka memiliki keyakinan bahwa
Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam
semesta.
Maka sungguh, ini adalah kekeliruan yang
sangat fatal. Karena ternyata makna tersebut akan membuka berbagai macam pintu
kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin.
Tidak Ada Sesembahan selain Allah?
Makna kedua dari kalimat “Tidak ada Tuhan
selain Allah” adalah “Tidak ada sesembahan selain Allah”. Namun makna ini juga
tidak benar, meskipun secara bahasa (Arab) kata “ilah” memiliki makna
“al-ma’bud” (sesembahan).
Hal itu dapat ditunjukkan dari bukti-bukti
berikut ini.
Bukti pertama
Makna tersebut tidak sesuai dengan
kenyataan atau realita yang sebenarnya. Bagaimana mungkin kita memaknai kalimat
“laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah”, padahal
realita menunjukkan bahwa terdapat sesembahan yang lain di samping Allah?
Buktinya, kaum musyrikin pada zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sesembahan yang
bermacam-macam. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang
menyembah Nabi dan orang-orang shalih, ada yang menyembah matahari dan bulan,
serta ada pula yang menyembah batu dan pohon. (Lihat Syarh Al Qowa’idul Arba’,
hal. 25).
Bahkan dalam banyak ayat pula Allah Ta’ala
menyebut sesembahan orang-orang musyrik sebagai “ilah”. Di antaranya adalah
firman Allah Ta’ala,
“Mereka mengambil sesembahan-sesembahan
selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan”
(QS. Yasin [36]: 73).
Kesimpulannya, memaknai “laa ilaaha
illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” adalah tidak tepat karena
realita menunjukkan bahwa di dunia ini terdapat sesembahan-sesembahan yang lain
selain Allah Ta’ala. Bahkan Allah sendiri mengakui bahwa memang terdapat
sesembahan selain Dia.
Bukti kedua
Kalimat “tidak ada sesembahan kecuali
Allah” menimbulkan konsekuensi yang sangat berbahaya. Karena konsekuensi kalimat
itu menunjukkan bahwa semua sesembahan orang musyrik adalah Allah.
Kekeliruan makna “tidak ada sesembahan
kecuali Allah” juga dapat dilihat dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh makna
tersebut. Karena kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah”, berarti “semua
sesembahan yang ada di alam semesta ini adalah Allah”.
Maka Isa bin Maryam adalah Allah, karena
dia adalah sesembahan orang-orang Nasrani. Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, Nasr,
Latta, Uzza, dan Manat semuanya adalah Allah, karena mereka adalah sesembahan
kaum musyrikin pada zaman dahulu. Para wali yang dijadikan sebagai perantara
dalam berdoa kepada Allah adalah Allah juga, karena mereka merupakan sesembahan
para penyembah kubur.
Maka jelaslah, bahwa makna “tidak ada
sesembahan selain Allah” menimbulkan konsekuensi yang sangat batil. Konsekuensi
pertama, Allah itu tidak hanya satu, namun berbilang sebanyak jumlah bilangan
sesembahan yang ada di muka bumi ini. Sedangkan konsekuensi batil yang kedua,
bahwa Allah Ta’ala telah menyatu dengan sesembahan-sesembahan tersebut (aqidah
wihdatul wujud atau manunggaling kawula-Gusti).
Makna Kalimat “Laa ilaaha illallah” yang
Tepat – Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah
Syaikh Al-‘Allamah Hafidz bin Ahmad
Al-Hakami rahimahullah berkata,
”Makna kalimat “laa ilaaha illallah”
adalah “laa ma’buuda bi haqqin illallah” [tidak ada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah]. Kalimat “laa ilaaha” bermakna meniadakan seluruh
sesembahan selain Allah. Maka tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali
Allah (“illallah”). Sehingga kalimat “illallah” bermakna menetapkan segala jenis
ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata. Dia-lah sesembahan yang haq (yang
benar) dan yang berhak untuk diibadahi”
(Lihat Ma’arijul Qobul, 2/516).
Berdasarkan penjelasan beliau rahimahullah
tersebut, maka makna yang tepat dari kalimat “laa ilaaha illallah” adalah
“tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah”. Ditambahkannya
kalimat “yang berhak disembah” ini dapat ditinjau dari dua sisi.
Pertama,
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali
sesembahan-sesembahan selain Allah Ta’ala di muka bumi ini. Akan tetapi, dari
sekian banyak sesembahan tersebut, yang berhak untuk disembah hanyalah Allah
Ta’ala semata.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala
yang artinya, “Demikianlah, karena
sesungguhnya Allah, Dia-lah (sesembahan) yang haq (benar). Dan sesungguhnya apa
saja yang mereka sembah selain Allah itulah (sesembahan) yang batil”
(QS. Luqman [30]: 31).
Kedua,
Dari sisi kaidah bahasa Arab pada kalimat
“laa ilaaha illallah” memang ada satu kata yang dibuang, yaitu “haqqun”.
Sehingga kalimat lengkap dari kalimat tauhid tersebut sebenarnya adalah “laa
ilaaha haqqun illallah” yang berarti “tidak ada sesembahan yang haq (atau yang
berhak disembah) selain Allah”.
Kalau ada yang bertanya, ”Mengapa ada kata
yang dibuang?”
Maka jawabannya adalah karena kaidah bahasa
Arab menuntut agar kalimat tersebut disampaikan secara ringkas, namun dapat
difahami oleh setiap orang yang mendengarnya. Meskipun kata “haqqun” dibuang,
namun orang-orang musyrik jahiliyyah dahulu telah memahami bahwa ada satu kata
yang dibuang (yaitu “haqqun”) dengan hanya mendengar kalimat “laa ilaaha
illallah”. Karena bagaimanapun, orang-orang musyrik jahiliyyah adalah
masyarakat yang fasih dalam berbahasa Arab.
(Lihat At-Tamhiid, hal. 77-78)
Dengan pemahaman ini maka kelirulah
apa yang diyakini oleh para penyembah kuburan pada masa ini dan
orang-orang semacam mereka yang menyatakan bahwa makna Laa ilaaha illallah
adalah persaksian bahwa Allah ada atau bahwa Dia adalah Khaliq sang Pencipta
yang mampu untuk meciptakan dan yang semacamnya dan bahwa yang berkeyakinan
seperti itu berarti dia telah mewujudkan Tauhid yang sempurna meskipun dia
melakukan berbagai hal seperti beribadah kepada selain Allah dan berdoa
kepada orang mati atau beribadah kepada mereka dengan melakukan nazar atau
thawaf dikuburannya dan mengambil berkah dengan tanah kuburannya.
Orang-orang kafir Quraisy telah mengetahui
sebelumnya bahwa Laa ilaaha Illallah mengandung konsekwensi yaitu
ditinggalkannya ibadah kepada selain Allah dan hanya mengesakan Allah dalam
ibadahnya. Seandainya mereka mengucapkan kalimat tersebut dan tetap menyembah
kepada berhala, maka sesungguhnya hal itu merupakan perbuatan yang bertolak
belakang dan mereka memang telah memulainya dari sesuatu yang bertentangan.
Sedangkan para penyembah kuburan zaman
sekarang tidak memulainya dari sesuatu yang bertentangan, mereka mengatakan Laa
ilaaha Illallah, kemudian mereka membatalkannya dengan doa terhadap orang mati
yang terdiri dari para wali, orang-orang sholeh serta beribadah di kuburan
mereka dengan berbagai macam ibadah. Celakalah bagi mereka sebagaimana
celakanya Abu Lahab dan Abu Jahal walaupun keduanya mengetahui Laa Ilaaha
Illallah.
Keutamaan Laa Ilaaha Illallah
Dalam kalimat Ikhlas (Laa Ilaaha Illallah)
terkumpul keutamaan yang banyak, dan faedah yang bermacam-macam. Akan tetapi
keutamaan tersebut tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya jika sekedar
diucapkan saja. Dia baru memberikan manfaat bagi orang yang mengucapkannya
dengan keimanan dan melakukan kandungan-kandungannya. Diantara keutamaan yang
paling utama adalah bahwa orang yang mengucapkannya dengan ikhlas sematamata
karena mencari ridho-Nya maka Allah ta’ala haramkan baginya api neraka.
Sebagaimana sabda Rasulullah sollallohu
‘alihi wa salam:
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ
الْجَنَّةَ
“Barangsiapa MENGUCAPKAN LAA ILAAHA
ILLALLAAH karena MENCARI WAJAH ALLAH dan ia mati dengannya, ia masuk surga
(HR. Ahmad; shahiih, dishahiihkan syaikh
al-albaaniy dalam ahkamul janaa-iz)
Dan banyak lagi hadits-hadits lainnya yang
menyatakan bahwa Allah mengharamkan orang-orang yang mengucapkan Laa Ilaaha
Illallah dari api neraka. Akan tetapi hadits-hadits tersebut mensyaratkan
dengan berbagai syarat yang berat.
Banyak yang mengucapkannya namun
dikhawatirkan terkena fitnah disaat kematiannya sehingga dia terhalang dari
kalimat tersebut karena dosa-dosanya yang selama ini selalu dilakukannya dan
dianggapnya remeh.
Banyak juga yang mengucapkannya dengan
dasar ikut-ikutan atau adat semata sementara keimanan tidak meresap kedalam
hatinya. Orang-orang semacam merekalah yang banyak mendapatkan fitnah saat
kematiannya dan saat di kubur sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits, (yakni
ketika ia ditanya di dalam kuburnya), (yang artinya):
“Siapakah Rabbmu? Apa agamamu? Siapakah
nabimu?” Adapun orang mukmin akan menjawab, “Rabb-ku Allah, agamaku Islam dan
nabiku Muhammad.” Sedangkan orang yang fajir/munafiq akan menjawab, “Ah, ah,
aku tidak tahu. Aku pernah mendengar orang-orang mengatakan sesuatu maka aku
ikut mengatakannya.” Lalu dikatakan kepadanya, “Engkau tidak tahu dan tidak
mengikuti orang yang tahu!” Ia dipukul dengan palu besi sehingga menjerit
dengan jeritan yang terdengar oleh segala sesuatu, kecuali manusia. (Dalam
riwayat lain, kecuali manusia dan jin). Seandainya manusia mendengarnya,
niscaya tersungkur pingsan.
(HR. Al-Bukhari di kitab al-Janaiz
(1/463), Muslim di kitab al-Jannah wa Na’imiha (4/2200), diriwayatkan pula oleh
Ahmad, Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah dan lainnya, sanadnya shahih
sebagaimana disebutkan oleh para ulama seperti Syaikh Islam Ibnu Taimiyah dalam
Majmu Fatawa 4/290, Ibnu Qayyim dalam kitab Ar-Ruh hal. 68, al-Qurthubi dalam
Tadzkirah hal. 119, lihat Ahwalul Qubur oleh Ibnu Rajab hal. 38-39, dan Fathul
Bari III/232)
Dengan demikian maka tidak ada yang
bertentangan dengan hadits-hadits yang ada, karena jika seseorang
mengucapkannya (Laa Ilaaha Illallah) dengan ikhlas dan penuh keyakinan maka
dia tidak mungkin berbuat dosa terus menerus, karena kesempurnaan keikhlasan dan
keyakinan menuntutnya untuk menjadikan Allah sebagai sesuatu yang lebih
dicintainya dari segala sesuatu, maka tidak ada lagi dalam hatinya keinginan
terhadap apa yang diharamkan Allah ta’ala dan membenci apa yang Allah
perintahkan. Hal seperti itulah yang membuatnya diharamkan dari api neraka
meskipun dia melakukan dosa sebelumnya, karena keimanan, taubat, keikhlasan,
kecintaan dan keyakinannya membuat dosa yang ada padanya terhapus bagaikan
malam yang menghapus siang.
Rukun Laa ilaaha Illallåh
Laa ilahaa illallah mempunyai dua rukun:
1. An-Nafyu atau
peniadaan: “laa ilahaa illallah” membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan
kewajiban kekafiran terhadap segala sesuatu yang disembah selain Allah.
2. Al-Itsbat (penetapan):
“laa ilahaa illallah” menetapkan bahwa tidak ada yang disembah kecuali Allah
dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.
Makna dua rukun ini banyak disebut dalam
ayat Al-Quran, seperti firman Allah:
“Karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang Amat kuat…”. (Al-Baqarah:256)
Firman Allah, “Siapa yang ingkar kepada
thaghut” itu adalah makna dari “laa ilahaa illallah” yang pertama.
Apa itu thaghut?
Ath-Thaghut telah didefenisikan oleh para
Shahabat dan ulama terdahulu yang mengikuti Najhu us Salaf (di jalan
orang-orang salaf) sebagai berikut: “Sesuatu yang disembah, ditaati, atau
diikuti selain daripada Allah.” Ibnu Katsiir berkata, adapun ayat Allah yang
berbunyi,
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Maksudnya: barangsiapa meninggalkan andad
(segala sesuatu yang dianggap tandingan Allah), berhala, dan apa-apa yang
diserukan oleh syaithan untuk diibadahi selain Allah lalu dia mengesakan Allah
dan beribadah hanya kepada Nya saja serta bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah
yang berhak disembah kecuali Allah,
“Sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat.”
Maksudnya, sungguh dia telah mantap
urusannya dan telah berjalan di atas jalan yang lurus.
Kemudian Ibnu Katsir, menukil dari Umar
bin Khaththab bahwasanya thaghut itu adalah syaithan. Dan Ibnu Katsir berkata,
“Pendapatnya, bahwa thaghut itu syaithan, adalah pendapat yang sangat kuat
karena dia mencakup segala keburukan yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah
yang berupa beribadah, berhukum, dan meminta pertolongan kepada berhala.”
(Tafsir Ibnu Katsir, I/311)
Dan pada I/512, Ibnu Katsir mengatakan,
“Bahwa orang-orang yang mengatakan seperti perkataan ‘Umar bin Khaththab
tersebut adalah; Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, Mujahid, ‘Atha, ‘Ikrimah, Sa’id bin
Zuhair, Asy-Sya’biy, Al-Hasan, Adh-Dhahak, As-Uddiy.
Imam Malik bin Anas råhimahullåh berkata:
“At-Thaghut adalah sesuatu yang disembah
di samping Allah subhanahu wa ta’ala”
(Diriwayatkan oleh Al-Jaami’ li Ahkam
Al-Qur’an oleh Imam al-Qurthubi)
Imam Ibnul Qayim råhimahullåh berkata:
“At -thaghut adalah seseorang yang
menghormati seseorang melibihi batasan yang seharusnya, apakah seseorang itu
menyembah, menaati atau mengikuti.” (Diriwayatkan dalam Thalaathatul Usul)
Syeikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab
råhimahullåh berkata: “Tokoh thaghut ada lima: Iblis la’natullah ‘alaih, orang
yang disembah dan dia ridha diperlakukan demikian, orang yang menyeru orang
lain agar menyembah dirinya, orang yang mengaku mengetahui ilmu ghaib, dan
orang yang berhukum selain dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
1. Iblis,
Yaitu setan yang terkutuk dan dilaknat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentangnya:
“Sesungguhnya laknat-Ku atas kalian sampai
hari kiamat.” (Shad: 78)
Awalnya Iblis bersama malaikat, tetapi
enggan bersujud kepada Adam ‘alaihissalam. Ketika diperintah untuk sujud kepada
Adam ‘alaihissalam itulah tampak kesombongan Iblis.
2. Seorang yang disembah dalam keadaan
ridha.
Adapun yang orang yang tidak ridha
disembah bukanlah thaghut.
3. Orang yang menyeru orang lain untuk
menyembah dirinya.
Dia termasuk thaghut, baik ada orang lain
yang mengikuti dakwahnya ataupun tidak. Dia sudah menjadi thaghut dengan semata
menyeru orang untuk menyembah dirinya. Termasuk dalam golongan ini adalah
Fir’aun dan syaikh-syaikh tarekat Sufi yang menyeru pengikutnya untuk menyembah
mereka.
4. Orang yang mengaku mengetahui sesuatu
tentang ilmu ghaib.
Karena ilmu ghaib (yang mutlak) adalah
kekhususan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, tidak ada yang mengetahui
perkara ghaib di langit dan bumi kecuali Allah…” (An-Naml: 65)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan:
“Kunci-kunci perkara ghaib ada lima, tidak
ada yang mengetahuinya kecuali Allah: Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang
akan terjadi besok; Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang ada di dalam
rahim-rahim; Suatu jiwa tidak mengetahui apa yang akan ia lakukan besok; Dan
tidak mengetahui di negeri mana dia akan mati; Tidak ada seorangpun yang
mengetahui kapan hujan turun.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Jum’ah, Bab LaYadri
Mata Yaji`ul Mathar illallah)
Maka barangsiapa mengaku mengetahui
perkara ghaib berarti telah kafir, karena telah mendustakan apa yang telah
diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Termasuk golongan thaghut yang keempat
adalah tukang sihir dan dukun-dukun.
5. Orang yang berhukum dengan selain hukum
Allah Subhanahu wa Ta’ala.1
Berhukum dengan hukum yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala turunkan termasuk Tauhid Uluhiyyah dan meyakini bahwa Allah Subhanahu
wa Ta’ala adalah hakim yang sebenar-benarnya adalah termasuk Tauhid Rububiyah.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut orang yang diikuti oleh
pengikut mereka -dalam hal yang menyelisihi apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
turunkan- sebagai rabb bagi pengikut mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan
tukang ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah…”
(At-Taubah: 31)
Demikian pula, orang-orang yang senantiasa
mengikuti hawa nafsunya, mencintai dan membenci karena hawa nafsunya, disebut
oleh Allah adlaah orang-orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai sesembahannya.
Sedangkan firman Allah, “dan beriman
kepada Allah” adalah makna dari rukun kedua, “laa ilahaa illallah”. Begitu pula
firman Allah kepada Nabi Ibrahim:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata
kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap
apa yang kamu sembah’ ” (Az-Zukruf:26)
“tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang
menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”
(Az-Zukruf:27)
Firman Allah, “ Sesungguhnya aku berlepas
diri” ini adalah makna nafyu (peniadaan) dalam rukun pertama. Sedangkan
perkataan, “Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku”, adalah makna
itsbat (penetapan) pada rukun kedua.
Khåtimah
Banyak sekali terdapat hadits yang
menerangkan bahwa makna Laa Ilaaha Illallah adalah berlepas diri dari semua
ibadah terhadap selain Allah baik dengan meminta syafaat ataupun pertolongan,
serta mengesakan Allah dalam beribadah, itulah petunjuk dan agama yang haq yang
karenanya Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya.
Adapun orang yang mengucapkan Laa Ilaaha
Illahllah tanpa memahami maknanya dan mengamalkan kandungannya, atau pengakuan
seseorang bahwa dia termasuk orang bertauhid sedangkan dia tidak mengetahui
tauhid itu sendiri bahkan justu beribadahkepada selain Allah dalam
bentuk doa, takut , menyembelih, nazar, minta pertolongan, tawakkal serta yang
lainnya dari berbagai bentuk ibadah maka semua itu adalah hal yang
bertentangan dengan tauhid, bahkan selama seseorang melakukan yang seperti
itu dia berada dalam keadaan musyrik !!
Al-Imam Ibnu Råjab Al-Hambaly berkata:
“Sesungguhnya hati yang memahami Laa
Ilaaha Illallah dan membenarkannya serta ikhlas akan tertanam kuat sikap
penghambaan kepada Allah semata dengan penuh penghormatan, rasa takut, cinta,
pengharapan, pengagungan dan tawakkal yang semua itu memenuhi ruang hatinya dan
disingkirkannya penghambaan terhadap selain-Nya dari para makhluk.”
“Jika semua itu terwujud maka tidak akan
ada lagi rasa cinta, keinginan dan permintaan selain apa yang dikehendaki Allah
serta apa yang dicintai-Nya dan dituntut-Nya. Demikian juga akan tersingkir
dari hati semua keinginan nafsu syahwat dan bisikan-bisikan syaitan.
Maka siapa yang mencintai sesuatu atau
menta’atinya atau mecintai dan membenci karenanya maka dia itu adalah sesembahannya,
dan siapa yang mencintai dan membenci semata-mata karena Allah, ta’at dan
memusuhi karena Allah, maka Allah baginya adalah sesembahan yang sebenarnya.
Siapa yang mencintai karena hawa nafsunya
dan membenci juga karenanya, atau ta’at dan memusuhi karena hawa nafsunya, maka
hawa nafsu baginya adalah sesembahannya, sebagaimana firman Allah ta’ala, yang
artinya:
“Tidakkah engkau melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya ?” (Al Furqon 43)
Demikianlah pembahasan tentang makna yang
benar dari kalimat tauhid. Semoga dengan pembahasan yang singkat ini dapat
mengangkat sedikit di antara kebodohan diri kita tentang agama ini. Dan
sungguh, memahami kalimat tauhid merupakan salah satu nikmat Allah Ta’ala yang
sangat besar bagi hamba-Nya.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata,
“Tidaklah Allah Ta’ala memberikan nikmat
kepada seorang hamba dengan suatu nikmat yang lebih agung dari nikmat diberikan
pemahaman (yang benar) terhadap kalimat ‘laa ilaaha illallah’”.
Maraji’
- Kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal
Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tauhid 1, Penulis Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin
Abdullah bin Fauzan
- Bulletin At Tauhid edisi V/8, M.
Saifudin Hakim
- TAUHID & MAKNA SYAHADATAIN, Serta
Hal-Hal Yang Membatalkan Keislaman, Abduloh Haidir, Editor Muh.Mu’inudinillah
Basri.MA.
Catatan Kaki
1. Berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa termasuk kufur
akbar yang mengeluarkan seorang dari Islam, dan bisa pula kufur ashghar yang
tidak mengeluarkan seseorang dari Islam. Hal ini sesuai dengan keyakinan
pelakunya. Karena, orang yang berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa
Ta’ala ada beberapa jenis:
1. Orang yang berhukum dengan selain hukum
Allah Subhanahu wa Ta’ala karena merendahkan dan membenci hukum Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Hal ini termasuk kufur akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hal itu karena mereka membenci apa yang
Allah turunkan maka Allah menggugurkan amalan mereka.” (Muhammad: 9)
2. Orang yang berhukum dengan selain hukum
Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan keyakinan bahwa hukum selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala lebih afdhal dan lebih baik dari hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inipun kufur akbar yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
“Siapakah yang lebih baik hukumnya
daripada hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin?”(Al-Ma`idah: 50)
3. Orang yang berhukum dengan selain hukum
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan keyakinan bahwa hukum selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala tersebut sama dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inipun kufur
akbar.
4. Orang yang berhukum dengan selain hukum
Allah Subhanahu wa Ta’ala karena meyakini tentang boleh dan halalnya berhukum
dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inipun pelakunya kafir, karena
telah menghalalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan.
5. Orang yang berhukum dengan selain hukum
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan masih meyakini bahwa hukum Allah
Subhanahu wa Ta’ala lebih afdhal, dan tidak menyamakan hukum selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan hukum-Nya, bahkan ia mengatakan bahwa hukum Allah
Subhanahu wa Ta’ala lebih afdhal dan lebih tinggi. Dia tidak menghalalkan
tindakan berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya saja dia
berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala semata karena syahwat,
jabatan, dan kepentingan pribadi, dalam keadaan yakin bahwa dirinya salah dan
sedang berbuat maksiat. Yang semacam ini termasuk kufur ashghar, pelakunya
tidak keluar dari Islam. Inilah yang ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma
-----
No comments:
Post a Comment